Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk menghapus sistem outsourcing atau alih daya dalam peringatan Hari Buruh pada Kamis (1/5/2025).
Komitmen dalam penghapusan outsourcing itu akan diambil pemerintah dalam pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional.
Prabowo menjelaskan, Badan Kesejahteraan Buruh Nasional itu akan berperan sebagai penasihat presiden dalam menyusun arah kebijakan terkait ketenagakerjaan, seperti hak dan perlindungan pekerja.
"Sebagai hadiah untuk kaum buruh hari ini, saya akan segera membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional," ujar Prabowo.
Salah satu tugas Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional adalah engkaji dan merumuskan mekanisme transisi yang tepat menuju penghapusan sistem outsourcing.
Prabowo menjelaskan, penghapusan outsourcing harus dilakukan secara bertahap dan penuh pertimbangan dengan iklim investasi.
"Kita ingin hapus outsourcing. Tapi kita juga harus realistis. Kita harus menjaga kepentingan para investor juga. Kalau tidak ada investasi, tidak ada pabrik, maka buruh juga tidak bisa bekerja," ujar Prabowo.
Warisan Megawati
Outsourcing atau alih daya pertama kali muncul di Indonesia pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang termuat dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dilansir dari Kompas.com pada (7/10/2020), Megawati mengatur keberadaan perusahaan alih daya di Indonesia secara legal lewat UU Ketenagakerjaan.
Adanya UU Ketenagakerjaan, penyedia tenaga kerja alih daya yang berbentuk badan hukum wajib memenuhi hak-hak pekerja. Di dalamnya juga diatur bahwa hanya pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan.
Kendati demikian, keluarnya aturan pemerintah yang melegalkan praktik outsourcing diprotes banyak kalangan pada saat itu, karena dianggap tak memberikan kejelasan status dan kepastian kesejahteraan pekerja alih daya.
Para pekerja yang berstatus outsourcing tidak mendapat tunjangan dan waktu kerja tidak pasti karena tergantung kesepakatan kontrak.
Adapun batasan-batasan pekerjaan outsourcing ini tercantum dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.
Di pasal tersebut, pekerja outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang.
"Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi," bunyi Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003.
Sumber: Kompas
Komitmen dalam penghapusan outsourcing itu akan diambil pemerintah dalam pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional.
Prabowo menjelaskan, Badan Kesejahteraan Buruh Nasional itu akan berperan sebagai penasihat presiden dalam menyusun arah kebijakan terkait ketenagakerjaan, seperti hak dan perlindungan pekerja.
"Sebagai hadiah untuk kaum buruh hari ini, saya akan segera membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional," ujar Prabowo.
Salah satu tugas Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional adalah engkaji dan merumuskan mekanisme transisi yang tepat menuju penghapusan sistem outsourcing.
Prabowo menjelaskan, penghapusan outsourcing harus dilakukan secara bertahap dan penuh pertimbangan dengan iklim investasi.
"Kita ingin hapus outsourcing. Tapi kita juga harus realistis. Kita harus menjaga kepentingan para investor juga. Kalau tidak ada investasi, tidak ada pabrik, maka buruh juga tidak bisa bekerja," ujar Prabowo.
Warisan Megawati
Outsourcing atau alih daya pertama kali muncul di Indonesia pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang termuat dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dilansir dari Kompas.com pada (7/10/2020), Megawati mengatur keberadaan perusahaan alih daya di Indonesia secara legal lewat UU Ketenagakerjaan.
Adanya UU Ketenagakerjaan, penyedia tenaga kerja alih daya yang berbentuk badan hukum wajib memenuhi hak-hak pekerja. Di dalamnya juga diatur bahwa hanya pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan.
Kendati demikian, keluarnya aturan pemerintah yang melegalkan praktik outsourcing diprotes banyak kalangan pada saat itu, karena dianggap tak memberikan kejelasan status dan kepastian kesejahteraan pekerja alih daya.
Para pekerja yang berstatus outsourcing tidak mendapat tunjangan dan waktu kerja tidak pasti karena tergantung kesepakatan kontrak.
Adapun batasan-batasan pekerjaan outsourcing ini tercantum dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.
Di pasal tersebut, pekerja outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang.
"Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi," bunyi Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003.
Sumber: Kompas