Viral! Mempelai Remaja Joget Saat Nyongkolan, Netizen Soroti Psikologis
Ads
scroll to continue with content

Menu Atas

Header Menu

HEADLINES
.....

Viral! Mempelai Remaja Joget Saat Nyongkolan, Netizen Soroti Psikologis

Minggu, 25 Mei 2025

Ads

Sebuah pernikahan remaja di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), tengah ramai jadi perbincangan publik setelah video prosesi adatnya viral di media sosial. Bukan hanya karena usia kedua mempelai yang masih sangat muda, tapi juga karena gelagat sang pengantin wanita yang dianggap janggal oleh warganet.

Pernikahan ini melibatkan dua remaja, yakni SMY (15), siswi SMP asal Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan SR (17), siswa SMK dari Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah. Keduanya melangsungkan pernikahan dalam usia yang belum masuk kategori dewasa menurut hukum di Indonesia.

Video Joget di Prosesi Nyongkolan Jadi Viral

Video yang diunggah akun Facebook @Dyiok Stars memperlihatkan prosesi adat Sasak, yang disebut nyongkolan. Dalam video tersebut, sang mempelai perempuan terlihat berjoget sambil berjalan menuju pelaminan, ditandu oleh dua perempuan dewasa. Aksi joget ini langsung menuai kontroversi. Beberapa warganet menilai gerak-geriknya tidak wajar, bahkan ada yang menyebutnya sebagai bentuk tekanan mental.

"Orang stres suruh nikah gimana ceritanya," tulis akun @Dede Zahra Zahra, yang dikutip oleh detikBali, Sabtu (24/5/2025). Komentar ini mewakili banyak suara netizen yang menyayangkan peristiwa tersebut.

LPA Mataram Lapor Polisi, Soroti Aspek Hukum dan Psikologis

Menanggapi viralnya video tersebut, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram bergerak cepat. Ketua LPA, Joko Jumadi, mengungkapkan bahwa pihaknya telah secara resmi melaporkan dugaan pernikahan anak ini ke Polres Lombok Tengah pada hari yang sama video itu viral.

"Kami dari LPA Kota Mataram telah membuat pelaporan pengaduan terkait perkawinan anak yang terjadi di Lombok Tengah," ujar Joko saat ditemui di Polres.

Menurut Joko, masalah ini tidak hanya sekadar soal usia, tetapi juga menyangkut potensi pelanggaran hukum dan dampak sosial jangka panjang yang sangat serius jika praktik seperti ini terus dibiarkan. Ia mengingatkan bahwa dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), ada pasal tegas yang mengatur soal larangan memperkawinkan anak.

Gelagat Mempelai Perempuan Jadi Pe rhatian

Joko juga menyoroti ekspresi dan gerakan mempelai perempuan yang tampak tidak biasa. Namun, ia mengingatkan agar publik tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Menurutnya, kondisi psikologis anak tersebut harus diperiksa secara profesional oleh tenaga medis, bukan hanya berdasarkan video viral.

"Kami belum bisa memastikan apakah itu bentuk tekanan psikologis atau bukan. Pemeriksaan medis akan dilakukan dalam proses penyelidikan," jelasnya.

NTB Peringkat Tertinggi Nasional untuk Pernikahan Anak

Mirisnya, Joko juga mengungkap fakta mengejutkan bahwa NTB menjadi daerah dengan kasus pernikahan anak tertinggi di Indonesia. Menurut data LPA, sekitar 14 persen dari seluruh pernikahan anak secara nasional terjadi di provinsi ini—terutama di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur.

"Secara nasional, angka tertinggi itu ada di NTB. Kalau dirinci, Lombok Tengah dan Lombok Timur menjadi kontributor terbanyak," tegasnya.

Fakta Mengerikan: Dispensasi Nikah Jauh Lebih Rendah dari Angka Persalinan Remaja

LPA juga mengungkapkan bahwa setiap tahunnya terdapat sekitar 700 hingga 800 permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke pengadilan dan disetujui. Namun, ironisnya, jumlah remaja yang melahirkan justru jauh lebih tinggi, mencapai 3.000 hingga 4.000 kasus per tahun. Bahkan pada tahun 2021, angka tersebut melonjak menjadi sekitar 8.000 persalinan remaja!

"Artinya, praktik pernikahan anak di luar sistem hukum masih sangat masif," tutur Joko dengan nada prihatin.

LPA: Pernikahan Anak Adalah Pelanggaran, Bukan Budaya

Salah satu pesan penting dari LPA adalah ajakan kepada masyarakat untuk berhenti membenarkan pernikahan anak atas nama adat atau budaya. Meski prosesi nyongkolan adalah tradisi masyarakat Sasak, bukan berarti praktik ini bisa menjadi pembenaran untuk melanggar hak anak.

"Kita tidak menentang budaya, tapi kita harus tahu batasnya. Kalau sudah menyangkut masa depan dan hak-hak anak, ya harus ada perlindungan. Ada undang-undangnya," ujar Joko.

Pihaknya juga berharap agar pelaporan ini menjadi langkah awal untuk memberikan edukasi hukum kepada masyarakat luas, terutama soal konsekuensi hukum dari memperkawinkan anak di bawah umur. Pasal 10 UU TPKS dengan tegas melarang praktik tersebut dan bisa dikenakan sanksi pidana.

Penutup: Saatnya Berhenti Menormalisasi Pernikahan Dini

Kisah pernikahan anak di Lombok Tengah ini membuka mata kita bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap pernikahan dini sebagai solusi, bukan masalah. Padahal, dari sisi psikologis, kesehatan, dan hukum, anak-anak yang dipaksa menikah cenderung menghadapi masa depan yang suram—putus sekolah, kehamilan berisiko, hingga kemiskinan turun-temurun.

LPA dan banyak pihak terus mendorong agar edukasi dan perlindungan anak diperkuat. Jika tidak, angka 14 persen bisa terus meningkat, dan ribuan anak lainnya akan kehilangan masa depan hanya karena sistem dan budaya yang membiarkan mereka tumbuh terlalu cepat.

_____________

Punya Kabar Menarik?

Bagikan di LiputanSembilan.com GRATIS! 🚀

Langsung tulis dan kirim tanpa login atau buat akun.


Apakah di sekitar kamu ada prestasi membanggakan, kisah inspiratif, atau acara penting yang jarang terliput media? Atau ingin mempromosikan produk dan jasa secara luas?


💡 LiputanSembilan.com membuka kesempatan bagi siapa saja untuk mengirimkan berita secara GRATIS!

✅ Berita tentang prestasi lokal, kisah unik, atau kejadian penting di komunitas Anda
✅ Promosi barang atau jasa untuk menjangkau lebih banyak orang

📢 Jangan lewatkan kesempatan ini! Kirim berita kamu sekarang dan jadilah bagian dari LiputanSembilan.com!


Kirim Berita