Fintech dan paylater bukan sekadar tren semata. Kehadiran mereka menjawab kebutuhan generasi digital yang mendambakan kemudahan, kecepatan, dan minim syarat. Sementara kartu kredit masih identik dengan proses pengajuan yang berbelit dan verifikasi yang bisa memakan waktu.
Data OJK: Pembiayaan Fintech Melejit
Menurut data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Maret 2025, outstanding pembiayaan konsumtif dari fintech mencapai Rp 51,93 triliun. Angka ini bukan main-main, karena mencakup 64,9% dari total outstanding fintech yang sebesar Rp 80,02 triliun—naik hampir 29% dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, pembiayaan lewat layanan paylater dari perusahaan pembiayaan tercatat sebesar Rp 8,22 triliun. Meski jumlahnya masih lebih kecil dibanding fintech P2P, pertumbuhannya justru lebih tinggi: 39,3% secara tahunan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat makin terbiasa menggunakan alternatif kredit non-bank dalam kehidupan sehari-hari.
Nasib Kartu Kredit: Kenaikan Tipis, Ancaman Besar
Di sisi lain, data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa nilai transaksi kartu kredit per Maret 2025 hanya tumbuh 4,7% secara tahunan menjadi Rp 37,82 triliun. Jumlah kartu yang beredar pun hanya naik 2,9% menjadi 18,67 juta. Angka ini terlihat kontras bila dibandingkan dengan lonjakan transaksi digital di sektor fintech.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital dari Celios, menilai bahwa masyarakat kini cenderung meninggalkan kartu kredit karena proses registrasinya yang panjang dan tidak pasti. Banyak orang jadi enggan mengurus pengajuan karena takut ditolak atau harus menunggu terlalu lama.
Sebaliknya, fintech dan paylater menawarkan pendaftaran yang bisa dilakukan langsung dari aplikasi smartphone dan disetujui dalam waktu singkat. Hal ini sangat menarik bagi masyarakat yang tidak punya akses ke layanan perbankan tradisional, alias kelompok unbanked dan underbanked.
Kelemahan Paylater dan Fintech Tetap Ada
Meski begitu, produk seperti paylater dan fintech P2P lending juga punya kelemahan, terutama dalam hal risiko gagal bayar. Nailul menyoroti bahwa potensi kredit macet di kedua layanan ini lebih tinggi dibanding kartu kredit, karena sistem skoringnya tidak seketat bank.
Kurangnya literasi keuangan di kalangan pengguna juga memperparah situasi. Banyak yang tergoda berutang tanpa mempertimbangkan kemampuan bayar. Akibatnya, kasus gagal bayar bisa meledak jika tidak diantisipasi.
Pelaku Industri Kartu Kredit Tetap Optimis
Menanggapi kondisi ini, Steve Marta selaku Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) punya pandangan yang berbeda. Menurutnya, produk seperti paylater dan P2P lending tidak bisa dianggap pesaing langsung kartu kredit, karena mereka bukan alat pembayaran utama, melainkan fasilitas cicilan.
Namun ia juga mengakui bahwa perkembangan regulasi bisa saja mengubah lanskap ini ke depannya. Saat semakin banyak perusahaan fintech yang ingin menjadi bagian dari ekosistem pembayaran digital, posisi kartu kredit bisa saja semakin terjepit.
Strategi Bank untuk Bertahan dan Berkembang
Meski dihimpit berbagai tantangan, pelaku industri kartu kredit tidak tinggal diam. Bank-bank besar seperti Mandiri, BCA, dan BNI menunjukkan bahwa bisnis kartu kredit mereka masih mencatat pertumbuhan positif.
Di Bank Mandiri, nilai transaksi kartu kredit per April 2025 naik 23% YoY, sementara volumenya meningkat 15%. Jumlah pemegang kartu juga naik 10%. Kesuksesan ini sebagian besar didorong oleh aplikasi Livin' by Mandiri, yang menjadi super app andalan bank dalam menjangkau nasabah digital.
Corporate Secretary Bank Mandiri, Ossy Iswara, menyebut bahwa strategi ekspansi digital, peningkatan pengalaman pengguna, serta kerja sama dengan merchant menjadi kunci sukses Mandiri mempertahankan posisi di bisnis ini.
BCA dan BNI Tak Mau Ketinggalan
PT Bank Central Asia Tbk (BCA) juga mencatat pertumbuhan positif. Nilai transaksi kartu kredit BCA mencapai Rp 32 triliun hingga kuartal pertama 2025, naik 9% dari tahun sebelumnya. Outstanding kartu kredit BCA juga tumbuh 13,9% YoY, dan saat ini tercatat ada 4,91 juta kartu beredar.
Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk juga menunjukkan kinerja positif meski pertumbuhannya tak sebesar Mandiri atau BCA. Nilai transaksi tumbuh 1% dan frekuensinya naik 7% hingga April 2025. General Manager Bisnis Kartu BNI, Grace Situmeang, menyebut bahwa pergeseran ke pembayaran non-tunai menjadi pendorong utama pertumbuhan ini.
BNI sendiri terus menyempurnakan segmentasi nasabah dan menawarkan promo menarik sebagai bentuk adaptasi. Namun Grace juga mengakui adanya peningkatan NPL (Non Performing Loan) atau kredit macet pada kartu kredit. Ia tak menyebutkan angka pastinya, tapi menyebut penyebabnya berasal dari perubahan pola konsumsi dan daya beli masyarakat yang menurun.
Tekanan Ekonomi Jadi Tantangan Bersama
Perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya stabil turut menjadi tantangan dalam menjaga kualitas portofolio kredit. Karena itulah, BNI terus memperkuat manajemen risiko, memantau nasabah secara berkala, dan menerapkan kebijakan mitigasi yang lebih selektif agar kredit tetap dalam batas aman.
Grace tetap optimis bahwa dengan proses digitalisasi yang terus berjalan, bisnis kartu kredit di BNI akan terus tumbuh hingga akhir tahun 2025.
Penutup: Masa Depan Kartu Kredit di Tengah Gempuran Fintech
Meski fintech dan paylater semakin populer, bukan berarti era transaksi kartu kredit sudah berakhir. Kartu kredit tetap memiliki tempat tersendiri, terutama bagi pengguna yang butuh limit tinggi, akses internasional, dan fasilitas premium.
Namun, bank perlu terus berinovasi agar tetap relevan. Pengalaman pengguna, kemudahan registrasi, dan fitur digital akan menjadi faktor penentu dalam mempertahankan dan memperluas pasar. Jika tidak, bukan tidak mungkin kartu kredit akan benar-benar tersingkir oleh produk-produk keuangan digital yang lebih gesit dan praktis.
_____________