Menurut Shinta, banyak investor masih menganggap Indonesia sebagai negara yang penuh tantangan bagi penanaman modal. Salah satu persoalan utama adalah kompleksitas regulasi dan perizinan yang berbelit-belit. Proses mendapatkan izin usaha di Indonesia bisa memakan waktu sangat lama, bahkan dalam beberapa kasus hingga 65 hari hanya untuk pendaftaran awal. Ini belum termasuk berbagai izin tambahan yang harus diurus pengusaha, yang bisa memperpanjang waktu persiapan hingga berbulan-bulan sebelum operasional bisnis benar-benar bisa dimulai.
Citra inilah yang menurut Shinta menjadi batu sandungan pertama dan paling mendasar bagi para investor asing. Mereka yang tertarik untuk masuk ke pasar Indonesia sering kali mengurungkan niat setelah melihat kerumitan birokrasi yang harus dilalui. Ketakutan akan ketidakpastian hukum, potensi gangguan terhadap operasional bisnis, dan lambannya sistem pelayanan publik semakin memperkuat kesan bahwa Indonesia adalah negara yang "sulit" untuk dijadikan tempat berinvestasi.
Namun demikian, di balik segala kerumitan itu, Shinta juga menyoroti sisi positif dari berinvestasi di Indonesia. Ia menekankan bahwa banyak investor asing yang telah berhasil menanamkan modalnya dan bertahan lama di Indonesia justru menuai hasil yang luar biasa. Return on investment (ROI) yang besar serta potensi pasar domestik yang sangat luas menjadi daya tarik utama yang tak bisa diabaikan.
Inilah yang dimaksud dengan bagian "sedap" dari istilah "ngeri-ngeri sedap". Meskipun penuh rintangan di awal, para investor yang mampu melewati fase awal tersebut sering kali justru merasakan hasil manis dari investasinya. Dengan kata lain, risiko yang tinggi bisa diimbangi dengan imbal hasil yang juga besar jika dilakukan dengan strategi yang tepat dan pendekatan yang sabar.
Menurut Shinta, hal ini menjadi pengingat bahwa persepsi atau citra suatu negara sangat penting dalam menarik investasi. Di era persaingan global saat ini, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan potensi pasar atau kekayaan sumber daya alam saja. Investor memiliki banyak pilihan dan mereka akan membandingkan Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan bahkan negara-negara di Afrika atau Amerika Latin. Negara-negara tersebut sering kali menawarkan proses perizinan yang lebih cepat, kepastian hukum yang lebih baik, dan insentif fiskal yang menarik. Oleh karena itu, jika Indonesia tidak segera melakukan pembenahan, potensi kehilangan peluang investasi sangat besar.
Lebih lanjut, Shinta menekankan bahwa pembenahan regulasi dan birokrasi harus menjadi prioritas utama pemerintah. Ia menyarankan perlunya deregulasi yang konsisten dan peningkatan transparansi dalam proses perizinan. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak tumpang tindih antara pusat dan daerah, yang selama ini menjadi salah satu keluhan utama para pelaku usaha.
Shinta juga mencermati bahwa selama ini upaya promosi investasi sering kali tidak disertai dengan kesiapan di lapangan. Banyak investor yang tertarik setelah melihat paparan potensi Indonesia, namun saat mulai masuk proses perizinan dan implementasi, mereka dihadapkan pada kenyataan yang tidak sesuai harapan. Ketidaksesuaian ini akhirnya menciptakan gap antara potensi dan realisasi, dan sayangnya dalam banyak kasus, membuat investor menarik diri sebelum proyek mereka berjalan.
Sebagai Ketua Apindo, Shinta tentu berbicara berdasarkan pengalaman langsung dari para anggota asosiasi, baik lokal maupun asing. Ia menekankan pentingnya reformasi sistemik dalam pelayanan investasi dan berharap pemerintah bisa menjadikan isu ini sebagai prioritas nasional. Ia juga menyarankan agar pemerintah bekerja lebih erat dengan pelaku usaha untuk menciptakan sistem yang lebih efisien dan ramah investasi.
Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah penyederhanaan sistem perizinan melalui teknologi digital dan one-stop service yang benar-benar berjalan optimal. Meskipun sistem OSS (Online Single Submission) sudah diperkenalkan, dalam praktiknya masih banyak pelaku usaha yang mengeluhkan kurangnya integrasi dan kejelasan dalam prosesnya. Pembenahan sistem ini tidak hanya akan mempercepat proses investasi, tetapi juga meningkatkan kepercayaan investor terhadap komitmen Indonesia dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Shinta juga mengingatkan bahwa iklim investasi tidak hanya berbicara soal regulasi semata, tetapi juga soal stabilitas politik dan kepastian hukum. Kejelasan arah kebijakan pemerintah, penegakan hukum yang adil, dan perlindungan terhadap hak-hak investor harus menjadi pilar utama dalam membangun ekosistem investasi yang sehat.
Dengan populasi besar, pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil, serta letak geografis yang strategis, Indonesia seharusnya memiliki posisi tawar yang tinggi di mata investor global. Namun semua potensi ini bisa saja tidak dimanfaatkan maksimal jika masalah-masalah mendasar seperti perizinan dan regulasi tidak segera dibenahi.
Pernyataan jujur Shinta Kamdani menjadi cerminan bahwa dunia usaha di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan klasik yang belum sepenuhnya terselesaikan. Namun, ia juga memberikan harapan bahwa Indonesia masih memiliki peluang besar untuk menarik investasi global, asalkan berani melakukan reformasi dan terus memperbaiki diri.
Jika pemerintah mampu menindaklanjuti masukan seperti ini dengan serius, maka tidak menutup kemungkinan citra "ngeri-ngeri sedap" yang selama ini melekat pada iklim investasi Indonesia bisa berubah menjadi "sedap-sedap saja"—yakni sebuah tempat yang ramah investasi, menjanjikan, dan kompetitif di kancah global.
_____________