Dalam sebuah konferensi pers yang digelar setelah pemilihan umum parlemen pada Sabtu, 3 Mei 2025, Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong memberikan tanggapan tegas terhadap munculnya ajakan bernuansa agama dalam kampanye politik. Pemilu tersebut menghasilkan kemenangan Partai Tindakan Rakyat (PAP) yang berhasil mempertahankan dominasinya dengan meraih 87 kursi di parlemen, jauh mengungguli Partai Pekerja (WP) yang hanya memperoleh 10 kursi.
Konferensi pers tersebut disiarkan melalui kanal YouTube resmi Kantor Perdana Menteri Singapura. Dalam penyampaiannya, Wong mengkritik keras seruan dari sejumlah aktivis yang mencoba menarik garis agama dalam pemilu, khususnya terhadap ajakan yang menyarankan warga Muslim untuk memilih kandidat Muslim.
Penolakan terhadap Politik Identitas Berbasis Agama
Lawrence Wong secara gamblang menolak segala bentuk kampanye yang mencoba membawa agama ke dalam arena politik. Ia mengutip salah satu unggahan aktivis Singapura yang menyerukan agar komunitas Muslim mendukung kandidat yang bersedia memajukan agenda keagamaan Islam. Menurut Wong, narasi semacam itu tidak hanya tidak pantas, tetapi juga membahayakan tatanan sosial Singapura yang sangat menjunjung tinggi keberagaman dan harmoni antar umat beragama.
Wong menegaskan bahwa penggunaan agama sebagai alat politik bertentangan dengan nilai-nilai inti Singapura. "Ini tidak dapat diterima! Kita tidak dapat menoleransi politik identitas semacam ini di masyarakat kita," ujar Wong dengan nada serius. Ia menyebut bahwa praktik politik identitas berbasis agama seperti itu telah menjadi penyebab perpecahan dan konflik di banyak negara lain. Oleh karena itu, Singapura tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi di dalam negeri mereka.
Bahaya Politik Identitas dalam Masyarakat Multikultural
PM Wong mengingatkan masyarakat bahwa mendorong pemilih untuk memilih berdasarkan kesamaan identitas—baik itu agama, ras, atau etnis—dapat memicu perpecahan sosial yang serius. Ia menyebut bahwa jika politik mulai digerakkan oleh semangat sektarian atau golongan tertentu, maka hal tersebut hanya akan mengarah pada perpecahan yang merugikan semua pihak.
"Sangat berbahaya jika kelompok tertentu memilih calon hanya berdasarkan identitasnya," kata Wong, sambil menambahkan bahwa tidak ada satu pun pihak yang akan menang jika praktik ini dibiarkan berkembang. Ia menyebut bahwa contoh-contoh buruk dari politik identitas bisa ditemukan di banyak negara lain, di mana perbedaan agama dan etnis telah menjadi sumber konflik berkepanjangan.
Singapura Berdiri di Atas Fondasi Multiras dan Multiagama
Lawrence Wong kemudian menekankan bahwa keberhasilan Singapura sebagai negara modern tidak lepas dari komitmen kuat dalam menjaga persatuan di tengah keragaman. Ia menyoroti bahwa keberagaman ras dan agama di Singapura bukanlah sesuatu yang muncul secara alami tanpa usaha, melainkan merupakan hasil dari kerja keras, konsistensi, dan kesabaran selama bertahun-tahun oleh generasi-generasi sebelumnya.
"Ini adalah landasan masyarakat multiras dan multiagama kita. Dan ini bukan kebetulan. Ini adalah hasil kerja keras yang sungguh-sungguh dan usaha yang sabar oleh generasi-generasi Singapura," ucap Wong.
Bagi Wong, stabilitas sosial dan keharmonisan antar komunitas adalah nilai strategis yang harus dijaga dengan penuh kedisiplinan. Ia menyatakan bahwa keberagaman bukanlah alasan untuk berpolitik dengan cara memecah belah masyarakat, tetapi justru harus menjadi kekuatan pemersatu yang dibangun di atas prinsip keadilan dan kesetaraan.
Larangan Campur Aduk Politik dan Agama di Singapura
Singapura sejak lama telah mengadopsi pendekatan yang sangat ketat terhadap keterlibatan agama dalam politik. Negara ini memiliki regulasi yang melarang penyalahgunaan platform keagamaan untuk tujuan politik atau menyebarkan kebencian terhadap kelompok lain. Larangan tersebut tidak hanya dijalankan secara hukum, tetapi juga menjadi norma sosial yang dijaga ketat oleh masyarakat dan pemerintah.
Seruan Wong untuk menolak politik berbasis agama juga merupakan peringatan kepada semua pihak agar tidak mengorbankan kesatuan nasional demi kepentingan kelompok tertentu. Ia menyatakan bahwa pemerintah akan bersikap tegas terhadap siapa pun yang mencoba mengadu domba warga berdasarkan identitas mereka.
PAP Pertahankan Mayoritas Parlemen
Dalam pemilu yang berlangsung pada awal Mei 2025, Partai Tindakan Rakyat (PAP) sekali lagi menunjukkan dominasinya dalam politik Singapura. Partai yang telah lama memimpin negara ini meraih 87 kursi parlemen, memastikan posisi mereka sebagai penguasa mayoritas. Sementara itu, Partai Pekerja (WP) sebagai oposisi mendapatkan 10 kursi, mempertahankan peran mereka sebagai penyeimbang kekuasaan.
Keberhasilan PAP ini dinilai sebagai hasil dari kepercayaan masyarakat terhadap stabilitas dan pertumbuhan yang ditawarkan oleh pemerintah. Namun di balik kemenangan tersebut, tantangan terbesar yang dihadapi bukan hanya dari segi ekonomi atau geopolitik, melainkan juga dari dalam negeri—terutama dalam menjaga kerukunan dan integritas sosial.
Menjaga Netralitas Politik di Tengah Keberagaman
Wong mengakhiri pernyataannya dengan ajakan kepada semua warga Singapura untuk tetap menjaga netralitas politik dan tidak terbawa oleh godaan kampanye berbasis identitas. Ia menekankan pentingnya menilai calon pemimpin berdasarkan kapasitas, integritas, dan kebijakan yang ditawarkan, bukan karena latar belakang agama atau etnis mereka.
Pernyataan ini menjadi pengingat penting di tengah dinamika sosial modern yang semakin kompleks. Dalam era media sosial yang memungkinkan penyebaran informasi secara cepat, ajakan-ajakan provokatif bisa menyebar luas dalam waktu singkat. Oleh sebab itu, ketegasan pemimpin dalam mengingatkan bahaya politik identitas menjadi sangat relevan.
Singapura terus berupaya menjadi contoh negara yang sukses menjaga harmoni di tengah kemajemukan. Namun, tantangan seperti munculnya kampanye bernuansa agama tetap perlu diawasi dan ditanggapi dengan bijak. Ketegasan Lawrence Wong dalam hal ini menunjukkan komitmen pemerintah Singapura untuk mempertahankan prinsip-prinsip keberagaman yang inklusif dan bebas dari eksploitasi politik.
Konferensi pers tersebut disiarkan melalui kanal YouTube resmi Kantor Perdana Menteri Singapura. Dalam penyampaiannya, Wong mengkritik keras seruan dari sejumlah aktivis yang mencoba menarik garis agama dalam pemilu, khususnya terhadap ajakan yang menyarankan warga Muslim untuk memilih kandidat Muslim.
Penolakan terhadap Politik Identitas Berbasis Agama
Lawrence Wong secara gamblang menolak segala bentuk kampanye yang mencoba membawa agama ke dalam arena politik. Ia mengutip salah satu unggahan aktivis Singapura yang menyerukan agar komunitas Muslim mendukung kandidat yang bersedia memajukan agenda keagamaan Islam. Menurut Wong, narasi semacam itu tidak hanya tidak pantas, tetapi juga membahayakan tatanan sosial Singapura yang sangat menjunjung tinggi keberagaman dan harmoni antar umat beragama.
Wong menegaskan bahwa penggunaan agama sebagai alat politik bertentangan dengan nilai-nilai inti Singapura. "Ini tidak dapat diterima! Kita tidak dapat menoleransi politik identitas semacam ini di masyarakat kita," ujar Wong dengan nada serius. Ia menyebut bahwa praktik politik identitas berbasis agama seperti itu telah menjadi penyebab perpecahan dan konflik di banyak negara lain. Oleh karena itu, Singapura tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi di dalam negeri mereka.
Bahaya Politik Identitas dalam Masyarakat Multikultural
PM Wong mengingatkan masyarakat bahwa mendorong pemilih untuk memilih berdasarkan kesamaan identitas—baik itu agama, ras, atau etnis—dapat memicu perpecahan sosial yang serius. Ia menyebut bahwa jika politik mulai digerakkan oleh semangat sektarian atau golongan tertentu, maka hal tersebut hanya akan mengarah pada perpecahan yang merugikan semua pihak.
"Sangat berbahaya jika kelompok tertentu memilih calon hanya berdasarkan identitasnya," kata Wong, sambil menambahkan bahwa tidak ada satu pun pihak yang akan menang jika praktik ini dibiarkan berkembang. Ia menyebut bahwa contoh-contoh buruk dari politik identitas bisa ditemukan di banyak negara lain, di mana perbedaan agama dan etnis telah menjadi sumber konflik berkepanjangan.
Singapura Berdiri di Atas Fondasi Multiras dan Multiagama
Lawrence Wong kemudian menekankan bahwa keberhasilan Singapura sebagai negara modern tidak lepas dari komitmen kuat dalam menjaga persatuan di tengah keragaman. Ia menyoroti bahwa keberagaman ras dan agama di Singapura bukanlah sesuatu yang muncul secara alami tanpa usaha, melainkan merupakan hasil dari kerja keras, konsistensi, dan kesabaran selama bertahun-tahun oleh generasi-generasi sebelumnya.
"Ini adalah landasan masyarakat multiras dan multiagama kita. Dan ini bukan kebetulan. Ini adalah hasil kerja keras yang sungguh-sungguh dan usaha yang sabar oleh generasi-generasi Singapura," ucap Wong.
Bagi Wong, stabilitas sosial dan keharmonisan antar komunitas adalah nilai strategis yang harus dijaga dengan penuh kedisiplinan. Ia menyatakan bahwa keberagaman bukanlah alasan untuk berpolitik dengan cara memecah belah masyarakat, tetapi justru harus menjadi kekuatan pemersatu yang dibangun di atas prinsip keadilan dan kesetaraan.
Larangan Campur Aduk Politik dan Agama di Singapura
Singapura sejak lama telah mengadopsi pendekatan yang sangat ketat terhadap keterlibatan agama dalam politik. Negara ini memiliki regulasi yang melarang penyalahgunaan platform keagamaan untuk tujuan politik atau menyebarkan kebencian terhadap kelompok lain. Larangan tersebut tidak hanya dijalankan secara hukum, tetapi juga menjadi norma sosial yang dijaga ketat oleh masyarakat dan pemerintah.
Seruan Wong untuk menolak politik berbasis agama juga merupakan peringatan kepada semua pihak agar tidak mengorbankan kesatuan nasional demi kepentingan kelompok tertentu. Ia menyatakan bahwa pemerintah akan bersikap tegas terhadap siapa pun yang mencoba mengadu domba warga berdasarkan identitas mereka.
PAP Pertahankan Mayoritas Parlemen
Dalam pemilu yang berlangsung pada awal Mei 2025, Partai Tindakan Rakyat (PAP) sekali lagi menunjukkan dominasinya dalam politik Singapura. Partai yang telah lama memimpin negara ini meraih 87 kursi parlemen, memastikan posisi mereka sebagai penguasa mayoritas. Sementara itu, Partai Pekerja (WP) sebagai oposisi mendapatkan 10 kursi, mempertahankan peran mereka sebagai penyeimbang kekuasaan.
Keberhasilan PAP ini dinilai sebagai hasil dari kepercayaan masyarakat terhadap stabilitas dan pertumbuhan yang ditawarkan oleh pemerintah. Namun di balik kemenangan tersebut, tantangan terbesar yang dihadapi bukan hanya dari segi ekonomi atau geopolitik, melainkan juga dari dalam negeri—terutama dalam menjaga kerukunan dan integritas sosial.
Menjaga Netralitas Politik di Tengah Keberagaman
Wong mengakhiri pernyataannya dengan ajakan kepada semua warga Singapura untuk tetap menjaga netralitas politik dan tidak terbawa oleh godaan kampanye berbasis identitas. Ia menekankan pentingnya menilai calon pemimpin berdasarkan kapasitas, integritas, dan kebijakan yang ditawarkan, bukan karena latar belakang agama atau etnis mereka.
Pernyataan ini menjadi pengingat penting di tengah dinamika sosial modern yang semakin kompleks. Dalam era media sosial yang memungkinkan penyebaran informasi secara cepat, ajakan-ajakan provokatif bisa menyebar luas dalam waktu singkat. Oleh sebab itu, ketegasan pemimpin dalam mengingatkan bahaya politik identitas menjadi sangat relevan.
Singapura terus berupaya menjadi contoh negara yang sukses menjaga harmoni di tengah kemajemukan. Namun, tantangan seperti munculnya kampanye bernuansa agama tetap perlu diawasi dan ditanggapi dengan bijak. Ketegasan Lawrence Wong dalam hal ini menunjukkan komitmen pemerintah Singapura untuk mempertahankan prinsip-prinsip keberagaman yang inklusif dan bebas dari eksploitasi politik.