Pemerintah Thailand tengah menghadapi tekanan dan kekhawatiran dari para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terkait rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen bagi bisnis dengan penghasilan tahunan minimal 1,5 juta Baht, atau sekitar Rp755 juta. Rencana kebijakan fiskal ini menuai kontroversi karena dianggap berpotensi membebani sektor UKM yang sudah cukup terpukul akibat tantangan ekonomi global dan domestik.
Menurut Menteri Keuangan Thailand, Pichai Chunhavajira, kebijakan ini bertujuan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara secara bertahap. Namun, banyak pelaku usaha khawatir bahwa kebijakan tersebut akan menambah tekanan pada bisnis mereka yang sudah menghadapi banyak kesulitan. Di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan memperkuat fondasi fiskal, muncul pertanyaan besar apakah waktu penerapannya sudah tepat, terutama di tengah perlambatan ekonomi.
Ketua Strategi Federasi UKM Thailand, Sangchai Theerakulvanich, menyoroti kondisi nyata di lapangan. Ia mengungkapkan bahwa para pelaku UKM sedang berjuang keras menghadapi lemahnya permintaan domestik, persaingan ketat dari produk impor, dan menjamurnya barang bebas pajak yang dijual dengan harga jauh lebih murah. Ini menciptakan tekanan besar bagi pengusaha lokal yang harus bersaing dalam kondisi yang tidak setara.
Dalam pernyataannya yang dikutip oleh media ternama Bangkok Post, Sangchai mengatakan bahwa jika pemerintah benar-benar ingin menarik UKM ke dalam sistem perpajakan formal melalui skema PPN, maka pendekatannya tidak boleh menambah kompleksitas atau beban baru. "Kalau ingin menarik UKM masuk ke sistem PPN, sebaiknya jangan menambah kategori pajak baru," ujarnya tegas. Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran bahwa bukan hanya beban finansial yang bertambah, tetapi juga ketidakpastian administrasi yang bisa memperlambat kegiatan usaha.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan ini, meskipun hanya melibatkan tarif PPN sebesar 1 persen, tetap merupakan tambahan beban yang signifikan bagi banyak UKM yang tengah berjuang. Dalam iklim bisnis yang belum stabil, setiap tambahan biaya bisa berdampak besar pada kelangsungan usaha. Banyak pelaku UKM masih berusaha bertahan dari dampak pandemi dan fluktuasi ekonomi global, dan penambahan kewajiban fiskal justru bisa menghambat pemulihan mereka.
Kekhawatiran ini tidak hanya datang dari sektor perdagangan atau manufaktur kecil, tetapi juga dari dunia kuliner. Asosiasi Restoran Thailand, yang mewakili ribuan pengusaha di sektor makanan dan minuman, juga menyuarakan penolakan terhadap rencana ini. Presiden Asosiasi, Chanon Koetcharaoen, menyatakan bahwa ekonomi Thailand belum sepenuhnya pulih dan daya beli masyarakat masih lemah. Dalam situasi seperti ini, menambah beban biaya operasional melalui pengenaan PPN justru berisiko menurunkan minat konsumen dan memukul pelaku usaha restoran yang bergantung pada arus kas harian.
"Kalau dipaksakan sekarang, bisa memperburuk keadaan," ujar Chanon. Menurutnya, pemerintah seharusnya menunda rencana ini atau paling tidak mengkaji ulang dengan lebih seksama agar tidak merugikan sektor yang sudah rentan. Asosiasi juga meminta agar bila kebijakan ini tetap diberlakukan, harus ada paket stimulus atau bentuk dukungan nyata lainnya untuk meringankan dampaknya, terutama pada sektor-sektor yang paling terdampak seperti restoran dan layanan makanan.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa meskipun niat pemerintah mungkin didorong oleh kebutuhan untuk memperluas pendapatan negara, kebijakan pajak tetap harus mempertimbangkan kondisi lapangan dan kesiapan sektor usaha. Pengusaha kecil umumnya tidak memiliki tim keuangan yang kuat atau akses ke penasihat pajak profesional, sehingga setiap perubahan aturan fiskal bisa menciptakan kebingungan dan ketidakpastian yang memperlambat operasional bisnis mereka.
Selain itu, para analis menilai bahwa kebijakan ini juga bisa menciptakan disinsentif untuk pertumbuhan. UKM yang sedang tumbuh mungkin akan menahan ekspansi usahanya agar tetap di bawah ambang batas pengenaan PPN, hanya demi menghindari beban tambahan. Hal ini bertentangan dengan semangat pertumbuhan inklusif yang ingin didorong oleh banyak pemerintah, termasuk Thailand, untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Sementara itu, di sisi pemerintah, argumen yang dibawa adalah bahwa pengenaan PPN ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan standar PPN global. Mereka menilai bahwa sudah waktunya sektor informal berkontribusi terhadap pendapatan negara dalam bentuk kewajiban fiskal yang proporsional. Namun, dalam ekonomi mikro, bahkan perubahan kecil bisa berdampak besar, khususnya bagi pelaku usaha skala kecil yang sangat sensitif terhadap perubahan margin keuntungan.
Apabila kebijakan ini tetap dijalankan tanpa strategi mitigasi yang matang, bisa jadi malah akan mendorong pelaku UKM untuk tetap berada di sektor informal atau bahkan menutup usahanya. Hal ini justru bertentangan dengan tujuan pemerintah untuk memperluas basis pajak dan mendorong formalisasi ekonomi.
Sebagai solusi, beberapa pihak menyarankan pendekatan bertahap. Misalnya, dengan memberikan insentif bagi UKM yang secara sukarela bergabung dalam sistem perpajakan atau memperkenalkan platform digital yang memudahkan pencatatan dan pelaporan pajak. Di sisi lain, dukungan berupa pelatihan, akses ke teknologi, dan penyederhanaan administrasi pajak juga sangat diperlukan agar UKM tidak merasa dirugikan atau ditinggalkan dalam proses transformasi fiskal ini.
Keseimbangan antara kebutuhan negara untuk meningkatkan pendapatan dan keberlangsungan usaha kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal adalah hal yang sangat krusial. Oleh karena itu, komunikasi yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha menjadi kunci dalam merumuskan kebijakan yang efektif, adil, dan berkelanjutan.
Menurut Menteri Keuangan Thailand, Pichai Chunhavajira, kebijakan ini bertujuan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara secara bertahap. Namun, banyak pelaku usaha khawatir bahwa kebijakan tersebut akan menambah tekanan pada bisnis mereka yang sudah menghadapi banyak kesulitan. Di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan memperkuat fondasi fiskal, muncul pertanyaan besar apakah waktu penerapannya sudah tepat, terutama di tengah perlambatan ekonomi.
Ketua Strategi Federasi UKM Thailand, Sangchai Theerakulvanich, menyoroti kondisi nyata di lapangan. Ia mengungkapkan bahwa para pelaku UKM sedang berjuang keras menghadapi lemahnya permintaan domestik, persaingan ketat dari produk impor, dan menjamurnya barang bebas pajak yang dijual dengan harga jauh lebih murah. Ini menciptakan tekanan besar bagi pengusaha lokal yang harus bersaing dalam kondisi yang tidak setara.
Dalam pernyataannya yang dikutip oleh media ternama Bangkok Post, Sangchai mengatakan bahwa jika pemerintah benar-benar ingin menarik UKM ke dalam sistem perpajakan formal melalui skema PPN, maka pendekatannya tidak boleh menambah kompleksitas atau beban baru. "Kalau ingin menarik UKM masuk ke sistem PPN, sebaiknya jangan menambah kategori pajak baru," ujarnya tegas. Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran bahwa bukan hanya beban finansial yang bertambah, tetapi juga ketidakpastian administrasi yang bisa memperlambat kegiatan usaha.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan ini, meskipun hanya melibatkan tarif PPN sebesar 1 persen, tetap merupakan tambahan beban yang signifikan bagi banyak UKM yang tengah berjuang. Dalam iklim bisnis yang belum stabil, setiap tambahan biaya bisa berdampak besar pada kelangsungan usaha. Banyak pelaku UKM masih berusaha bertahan dari dampak pandemi dan fluktuasi ekonomi global, dan penambahan kewajiban fiskal justru bisa menghambat pemulihan mereka.
Kekhawatiran ini tidak hanya datang dari sektor perdagangan atau manufaktur kecil, tetapi juga dari dunia kuliner. Asosiasi Restoran Thailand, yang mewakili ribuan pengusaha di sektor makanan dan minuman, juga menyuarakan penolakan terhadap rencana ini. Presiden Asosiasi, Chanon Koetcharaoen, menyatakan bahwa ekonomi Thailand belum sepenuhnya pulih dan daya beli masyarakat masih lemah. Dalam situasi seperti ini, menambah beban biaya operasional melalui pengenaan PPN justru berisiko menurunkan minat konsumen dan memukul pelaku usaha restoran yang bergantung pada arus kas harian.
"Kalau dipaksakan sekarang, bisa memperburuk keadaan," ujar Chanon. Menurutnya, pemerintah seharusnya menunda rencana ini atau paling tidak mengkaji ulang dengan lebih seksama agar tidak merugikan sektor yang sudah rentan. Asosiasi juga meminta agar bila kebijakan ini tetap diberlakukan, harus ada paket stimulus atau bentuk dukungan nyata lainnya untuk meringankan dampaknya, terutama pada sektor-sektor yang paling terdampak seperti restoran dan layanan makanan.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa meskipun niat pemerintah mungkin didorong oleh kebutuhan untuk memperluas pendapatan negara, kebijakan pajak tetap harus mempertimbangkan kondisi lapangan dan kesiapan sektor usaha. Pengusaha kecil umumnya tidak memiliki tim keuangan yang kuat atau akses ke penasihat pajak profesional, sehingga setiap perubahan aturan fiskal bisa menciptakan kebingungan dan ketidakpastian yang memperlambat operasional bisnis mereka.
Selain itu, para analis menilai bahwa kebijakan ini juga bisa menciptakan disinsentif untuk pertumbuhan. UKM yang sedang tumbuh mungkin akan menahan ekspansi usahanya agar tetap di bawah ambang batas pengenaan PPN, hanya demi menghindari beban tambahan. Hal ini bertentangan dengan semangat pertumbuhan inklusif yang ingin didorong oleh banyak pemerintah, termasuk Thailand, untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Sementara itu, di sisi pemerintah, argumen yang dibawa adalah bahwa pengenaan PPN ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan standar PPN global. Mereka menilai bahwa sudah waktunya sektor informal berkontribusi terhadap pendapatan negara dalam bentuk kewajiban fiskal yang proporsional. Namun, dalam ekonomi mikro, bahkan perubahan kecil bisa berdampak besar, khususnya bagi pelaku usaha skala kecil yang sangat sensitif terhadap perubahan margin keuntungan.
Apabila kebijakan ini tetap dijalankan tanpa strategi mitigasi yang matang, bisa jadi malah akan mendorong pelaku UKM untuk tetap berada di sektor informal atau bahkan menutup usahanya. Hal ini justru bertentangan dengan tujuan pemerintah untuk memperluas basis pajak dan mendorong formalisasi ekonomi.
Sebagai solusi, beberapa pihak menyarankan pendekatan bertahap. Misalnya, dengan memberikan insentif bagi UKM yang secara sukarela bergabung dalam sistem perpajakan atau memperkenalkan platform digital yang memudahkan pencatatan dan pelaporan pajak. Di sisi lain, dukungan berupa pelatihan, akses ke teknologi, dan penyederhanaan administrasi pajak juga sangat diperlukan agar UKM tidak merasa dirugikan atau ditinggalkan dalam proses transformasi fiskal ini.
Keseimbangan antara kebutuhan negara untuk meningkatkan pendapatan dan keberlangsungan usaha kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal adalah hal yang sangat krusial. Oleh karena itu, komunikasi yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha menjadi kunci dalam merumuskan kebijakan yang efektif, adil, dan berkelanjutan.