Aset safe haven tradisional seperti emas dan dolar AS selama bertahun-tahun telah menjadi pelabuhan utama bagi investor yang ingin menghindari risiko. Emas, misalnya, telah terbukti menjadi lindung nilai terhadap inflasi dan ketidakpastian ekonomi. Sementara itu, dolar AS telah lama dianggap sebagai mata uang global yang dominan dan stabil karena kekuatan ekonomi Amerika Serikat serta perannya dalam perdagangan internasional.
Namun, belakangan ini, dolar AS mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan sebagai aset safe haven yang dominan. Perubahan ini dipicu oleh dinamika ekonomi dan politik yang berasal dari dalam negeri Amerika Serikat sendiri, yang secara ironis justru melemahkan posisi mata uang tersebut. Salah satu faktor utama yang menjadi pemicu adalah kebijakan proteksionis yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump, khususnya dalam bentuk tarif perdagangan resiprokal terhadap mitra dagang utama seperti China, Uni Eropa, dan negara-negara Asia lainnya.
Kebijakan tersebut bukan hanya memperburuk hubungan dagang internasional, tetapi juga menciptakan ketidakpastian besar terhadap prospek pertumbuhan ekonomi AS. Akibatnya, banyak pelaku pasar mulai mengurangi eksposur mereka terhadap dolar AS, dan mencari alternatif lain yang dinilai lebih stabil.
Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, juga menyoroti fenomena ini dalam konferensi pers terbaru mengenai kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia menjelaskan bahwa saat ini, investor global mulai memindahkan asetnya ke yen Jepang dan euro Eropa, dua mata uang yang kini mendapatkan kepercayaan lebih tinggi sebagai safe haven.
Data yang dikemukakan oleh Sri Mulyani menunjukkan bahwa sejak awal tahun hingga 28 April 2025, yen Jepang telah mengalami penguatan sebesar 9,3% terhadap dolar AS. Sementara itu, euro mengalami apresiasi sebesar 9,1% dalam periode yang sama. Ini menjadi indikasi kuat bahwa dolar AS mulai kehilangan daya tariknya sebagai aset pelindung nilai dalam situasi krisis global.
Sebaliknya, nilai tukar rupiah Indonesia mengalami depresiasi sebesar 4,5%, yang menunjukkan bahwa negara-negara berkembang masih cenderung rentan terhadap volatilitas eksternal. Dolar AS sendiri bahkan mengalami kontraksi sebesar 8,5%, menunjukkan bahwa tekanan terhadap mata uang tersebut semakin kuat. Uniknya, yuan Tiongkok justru menunjukkan penguatan tipis sebesar 0,1% secara tahunan, sebuah pencapaian yang cukup menarik mengingat posisi China dalam konflik dagang dengan AS.
Sri Mulyani menambahkan bahwa saat ini ketidakpastian di pasar keuangan global justru bersumber dari Amerika Serikat. Tidak hanya karena perang dagang yang dimulai oleh Trump, tetapi juga karena adanya gesekan politik antara Presiden Trump dan Gubernur Bank Sentral AS (The Fed), Jerome Powell. Ketegangan ini memunculkan persepsi bahwa kebijakan moneter dan fiskal AS tidak sinkron dan berpotensi menimbulkan instabilitas lebih lanjut.
Dalam salah satu pernyataannya, Trump bahkan menyebut Powell dengan julukan "Mr. Too Late", sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan suku bunga The Fed yang dinilai terlalu lamban dalam merespons dinamika ekonomi. Perseteruan ini menambah lapisan ketidakpastian baru bagi pasar, karena independensi bank sentral yang seharusnya dijaga, justru menjadi bahan konflik politik di tingkat eksekutif.
Dampaknya tidak hanya terasa pada pasar saham dan obligasi di AS, tetapi juga berdampak langsung terhadap kinerja dolar di pasar global. Imbal hasil surat berharga negara (SBN) menjadi tidak stabil, dan nilai tukar dolar pun terdampak secara signifikan.
Secara historis, kinerja dolar AS saat ini tercatat sebagai salah satu yang terburuk dalam sejarah kepresidenan Amerika Serikat. Berdasarkan data dari Refinitiv, indeks dolar AS telah mengalami penurunan sekitar 9% sejak Presiden Donald Trump dilantik untuk periode keduanya pada 20 Januari 2025. Khusus untuk bulan April saja, penurunan mencapai lebih dari 4,5%, menjadikannya sebagai penurunan bulanan terbesar sejak tahun 1973.
Bahkan, indeks dolar sempat menyentuh level terendah 98,12 pada 21 April 2025, angka yang terakhir kali terlihat pada Maret 2022. Ini mencerminkan betapa parahnya tekanan terhadap mata uang tersebut.
Kebijakan ekonomi Trump, khususnya tarif perdagangan yang tinggi terhadap negara-negara lain, tidak hanya merugikan hubungan internasional tetapi juga menggerus kepercayaan investor global terhadap perekonomian AS. Akibatnya, banyak dari mereka memilih untuk menarik investasinya dari aset berbasis dolar dan mengalihkan ke aset lain seperti euro, franc Swiss, yen Jepang, dan juga emas.
Emas sebagai safe haven klasik pun mengalami lonjakan permintaan, seiring dengan meningkatnya ketidakpastian geopolitik. Ini semakin menegaskan bahwa dalam kondisi sekarang, investor lebih memilih diversifikasi mata uang dan aset ketimbang bergantung sepenuhnya pada dolar AS.
Fenomena ini juga memberikan pelajaran penting bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dalam menghadapi kondisi global yang penuh gejolak, dibutuhkan kebijakan fiskal dan moneter yang solid, komunikasi yang transparan, dan langkah-langkah strategis dalam menjaga stabilitas makroekonomi. Pemerintah harus terus memantau dinamika global dan meresponsnya dengan kebijakan yang adaptif.
Dengan berubahnya lanskap safe haven global, penting bagi pelaku pasar dan regulator untuk lebih fleksibel dalam membaca tren dan memanfaatkan peluang yang ada. Ketergantungan berlebihan terhadap satu mata uang atau satu pasar kini terbukti menjadi sumber kerentanan. Diversifikasi, kehati-hatian, serta sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter menjadi kunci untuk bertahan dan tumbuh di tengah arus ketidakpastian global.
_____________