Fenomena tak mengenakkan dialami oleh seorang warga Desa Kepung, Kediri, Jawa Timur, bernama Eko. Usai menyampaikan keberatannya terhadap acara *sound horeg*—sebuah hiburan musik jalanan yang menggunakan sound system bervolume tinggi—Eko justru jadi sasaran teror dan intimidasi. Protesnya itu malah membuat ia dan keluarganya dikucilkan oleh komunitas yang terlibat.
Tak hanya itu, Eko juga mengaku fotonya bersama sang istri disebarkan di berbagai grup komunitas *sound horeg*. Narasi yang menyertainya pun bernada provokatif, menyudutkan pasangan ini seolah-olah sebagai "penghambat hiburan rakyat." Tindakan ini jelas memperparah tekanan sosial yang mereka rasakan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal.
Teror tak berhenti di dunia maya. Menurut kesaksian Eko, rumahnya sempat didatangi rombongan komunitas tersebut. Parahnya, speaker mereka sengaja diarahkan ke rumah Eko dan dinyalakan dengan volume maksimal dari siang hingga malam hari. "Mereka nyetel mulai jam 13.30 sampai sekitar pukul 21.00. Sound itu benar-benar dihadapkan ke arah rumah," ujar Eko dalam sebuah video yang viral di media sosial.
Yang lebih mengkhawatirkan, ini bukan kali pertama Eko mengalami tekanan fisik. Ia menyebut bahwa pada tahun 2022, dirinya pernah dikeroyok sekelompok massa setelah menegur rombongan sound horeg yang lewat di depan rumahnya. Pengalaman buruk itu rupanya tak menyurutkan niat Eko untuk kembali bersuara ketika gangguan serupa terulang.
Menurut Eko, keresahan sebenarnya tak hanya dirasakan dirinya seorang. Banyak warga Desa Kepung yang juga merasa terganggu dengan kebisingan serta tuntutan biaya iuran acara tersebut. Diketahui, panitia penyelenggara *sound horeg* sempat meminta iuran sebesar Rp500 ribu per kepala keluarga—jumlah yang tentu cukup memberatkan bagi sebagian besar warga. Namun, ketakutan terhadap pengucilan sosial membuat sebagian besar warga memilih bungkam.
Bahkan, ada beberapa keluarga yang memilih meninggalkan desa untuk sementara waktu guna menghindari konflik lebih lanjut. Keheningan ini mencerminkan betapa kuatnya tekanan sosial di dalam komunitas tersebut, dan betapa lemahnya perlindungan terhadap warga yang menyuarakan ketidaksetujuan.
Kekecewaan semakin mendalam ketika Eko mengaku bahwa dirinya sudah mencoba jalur resmi dengan melaporkan peristiwa ini ke kepala desa. Sayangnya, tidak ada tanggapan atau tindakan nyata yang diberikan oleh pihak desa. Warga seperti Eko akhirnya dibiarkan menghadapi ancaman seorang diri tanpa adanya dukungan dari perangkat pemerintahan.
Kini, satu-satunya harapan Eko adalah adanya tindakan nyata dari pemerintah Kabupaten Kediri serta pihak kepolisian. Ia menginginkan perlindungan atas kondisi psikologis dan fisik yang memburuk akibat intimidasi yang dialami. Menurutnya, masalah ini bukan sekadar konflik personal, tapi bentuk nyata ketidakadilan sosial yang seharusnya tak dibiarkan berlarut-larut.
Peristiwa ini menyoroti pentingnya penegakan hukum dan jaminan keamanan bagi warga yang berani menyampaikan opini. Bila suara yang kritis terhadap ketidaknyamanan publik justru dibungkam melalui intimidasi massal, maka keberlangsungan demokrasi lokal patut dipertanyakan. Tidak semua hiburan harus dipaksakan atas nama kebersamaan, apalagi jika mengorbankan kenyamanan dan hak asasi orang lain.
_____________