Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, buka suara soal kondisi Papua yang selama ini masih penuh konflik. Menurut Yusril, sudah saatnya pemerintah merubah cara pendekatan dalam menangani berbagai persoalan di Tanah Papua. Ia menilai, pendekatan keamanan saja nggak cukup dan justru harus lebih menonjolkan sisi hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Hal ini ia sampaikan saat menghadiri peluncuran Laporan Tahunan Komnas HAM RI yang ditayangkan lewat kanal YouTube resmi Komnas HAM pada Rabu, 2 Juli 2025. Dalam pidatonya, Yusril menekankan bahwa pemerintah wajib mengedepankan penghormatan terhadap identitas dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Baginya, soal HAM ini adalah hal mendasar yang nggak boleh dilupakan.
Menurut Yusril, permasalahan HAM bukan hanya sekedar urusan negara atau pemerintah pusat. Isu ini juga menyangkut kepentingan kelompok masyarakat Papua itu sendiri. Jadi, penyelesaiannya pun nggak bisa sepihak. Semua elemen harus duduk bareng mencari solusi yang adil.
Yusril juga mengingatkan bahwa seringkali masyarakat hanya menganggap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh negara, melalui aparat bersenjata. Padahal, dalam kenyataannya, kekerasan juga bisa terjadi dari kelompok-kelompok di dalam masyarakat Papua sendiri yang terlibat konflik bersenjata. Jadi menurutnya, semua pihak harus paham bahwa pelanggaran HAM itu bisa terjadi dari dua arah, bukan cuma aparat negara, tapi juga kelompok sipil bersenjata yang melakukan aksi kekerasan.
Ia menegaskan kembali bahwa persoalan HAM bukan sekadar soal hukum negara, melainkan soal kemanusiaan. Artinya, siapa pun yang melanggar HAM, baik aparat maupun kelompok sipil, tetap harus bertanggung jawab. Tujuan akhirnya adalah menciptakan kehidupan yang damai dan adil bagi masyarakat Papua.
Sementara itu, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar, memberikan gambaran soal betapa rumitnya kondisi di lapangan. Berdasarkan data ALDP, konflik bersenjata di Papua terus meningkat. Pada 2014, tercatat ada 32 kasus konflik bersenjata. Tapi di tahun 2024, jumlahnya melonjak drastis jadi 95 kasus. Ini menunjukkan situasinya masih jauh dari kata aman.
Latifah juga menyebutkan kalau kekuatan bersenjata di Papua saat ini bukan cuma TNI dan Polri. Ada berbagai satuan tugas atau Satgas yang beroperasi di sana. Sebut saja Satgas Pamtas, Kogabwilhan, Satgas Habema, Satgas Pangan, Satgas Damai Cartenz, Satgas Pinang Sirih, hingga Satgas Nagala. Belum lagi ditambah dengan satuan tugas kepolisian yang tersebar di berbagai wilayah Papua. Jumlahnya banyak banget, dan masing-masing punya tugas sendiri-sendiri. Namun begitu, kehadiran berbagai Satgas ini belum sepenuhnya meredam konflik.
Kondisi yang rumit ini makin menunjukkan pentingnya pendekatan baru seperti yang disampaikan Yusril. Mengandalkan kekuatan bersenjata saja terbukti tidak menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang lebih manusiawi, yang melihat orang Papua sebagai warga neatan yang lebih manusiawi, yang melihat orang Papua sebagai warga negara yang hak-haknya harus dihormati, bukan sebagai Dengan pendekatan berbasis hukum dan HAM, diharapkan ke depan masalah Papua bisa lebih tertangani secara adil dan manusiawi. Bukan sekadar meredam konflik dengan senjata, tapi juga menghapus akar masalah yang selama ini membuat Papua terus bergolak.
Semua pihak, baik pemerintah, aparat keamanan, maupun masyarakat Papua sendiri, diharapkan bisa bersama-sama membangun perdamaian yang berkelanjutan. Jangan sampai konflik yang sudah puluhan tahun ini terus berulang tanpa ada ujung penyelesaian.
_____________