Menurut Tito, dari total 1.091 BUMD yang tersebar di berbagai daerah, sekitar 300 perusahaan daerah tercatat merugi dengan total kerugian mencapai Rp 5,5 triliun. Temuan ini semakin memperkuat kekhawatiran akan lemahnya tata kelola BUMD selama ini.
Padahal, nilai total aset BUMD secara keseluruhan mencapai Rp 1.240 triliun. Namun, laba bersih yang dihasilkan hanya Rp 24,1 triliun setelah dikurangi kerugian dan pos lainnya. "Dividen hanya 1 persen dari total aset, ini memprihatinkan. Laba juga hanya 1,9 persen dari total aset," tegas Tito dalam rapat yang berlangsung di Kompleks Parlemen Senayan.
Selain persoalan finansial, Tito juga menyoroti lemahnya pengawasan internal di tubuh BUMD. Sebanyak 342 BUMD disebut tidak memiliki satuan pengawas internal (SPI), sementara pengawas eksternal dinilai belum maksimal menjalankan perannya. Kondisi ini dikhawatirkan membuka celah penyalahgunaan wewenang hingga praktik korupsi.
"Belum ada aturan jelas yang mengatur peran Mendagri dalam seleksi hingga pemberhentian dewan pengawas, komisaris, dan direksi BUMD. Ini penting agar yang terpilih benar-benar orang profesional," kata Tito.
Mengingat kompleksitas permasalahan, Tito mengusulkan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang BUMD. Menurutnya, regulasi yang ada saat ini tidak cukup kuat memberikan kewenangan pengawasan bagi Kemendagri. "Mohon kiranya Komisi II mendukung terbentuknya undang-undang tentang BUMD agar lebih tegas mengatur pengelolaan BUMD. Draft-nya akan kami siapkan," ujarnya.
Saat ini, peran Mendagri sebagai pembina dan pengawas BUMD diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD. Namun, aturan ini belum dituangkan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Akibatnya, pengawasan BUMD sering berjalan setengah hati karena keterbatasan payung hukum.
Komisi II DPR RI pun sepakat mendorong Kemendagri untuk mengajukan RUU BUMD ke pemerintah dan DPR. Ketua Komisi II, Rifqinizamy Karsayuda, menegaskan perlunya regulasi yang terintegrasi untuk menghindari tumpang tindih kewenangan. "Regulasi terkait BUMD saat ini masih tersebar di berbagai peraturan sektoral. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, lemahnya pengawasan, dan tumpang tindih kewenangan," ujar Rifqi.
Dalam rapat tersebut, Komisi II menyetujui kesimpulan bahwa pemerintah melalui Mendagri segera menyiapkan RUU BUMD sebagai langkah reformasi pengelolaan perusahaan daerah. Sebelum RUU disahkan, Komisi II mendorong penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang mengatur pembinaan dan pengawasan BUMD.
Permendagri ini nantinya mencakup pengangkatan, pemberhentian, pembentukan, hingga persetujuan pembubaran BUMD agar prosesnya berjalan transparan, akuntabel, dan sesuai ketentuan hukum. "Agar berjalan lebih efektif, efisien, terarah, dan akuntabel, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya," jelas Rifqi.
Pakar ekonomi menilai langkah ini mendesak mengingat besarnya potensi ekonomi yang dimiliki BUMD. Jika tata kelola dan pengawasan diperbaiki, BUMD berpeluang menjadi motor penggerak pembangunan daerah, bukan sebaliknya menjadi sumber kerugian. Kerugian Rp 5,5 triliun yang dialami BUMD saat ini menjadi alarm keras bahwa reformasi harus dilakukan segera.
_____________