Ekonom Anthony Budiawan menilai kondisi fiskal Indonesia saat ini kian genting. Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) itu menyebut rakyat di banyak daerah kini dipaksa "memeras dirinya sendiri" lewat pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis. Kenaikan ini, menurutnya, bukan kebijakan biasa, melainkan cerminan negara sedang mengalami krisis fiskal akut.
Anthony menegaskan bahwa lonjakan PBB yang terjadi serentak di berbagai kabupaten dan kota tidak bisa dianggap kebetulan. "Kenaikan pajak daerah yang sangat tinggi dan tidak wajar ini bukan sekadar salah hitung, ini alarm keras bahwa keuangan negara sedang dalam kondisi kritis," ujarnya, Kamis (21/8/2025). Pernyataan ini sontak memantik perbincangan, sebab PBB yang semula hanya jadi iuran tahunan, kini berubah jadi hantu sosial di tingkat desa hingga kota.
Menurut Anthony, pemerintah pusat khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) justru lepas tangan. Ia menuding Sri Mulyani menyerahkan beban ke daerah dengan alasan transfer dana dipotong Rp50,5 triliun sejak Februari 2025. Alhasil, kepala daerah diminta kreatif mencari pendapatan tambahan, dan jalan paling cepat adalah menaikkan pajak. Masalahnya, rakyatlah yang jadi korban langsung.
"Yang lebih bahaya, krisis fiskal nasional dialihkan menjadi persoalan daerah. Padahal dampaknya bisa memicu ketidakstabilan politik dan sosial di bawah," jelasnya. Dengan kata lain, rakyat kini menanggung beban ganda: menutup lubang fiskal pusat sekaligus menghadapi kenaikan biaya hidup di daerah.
Anthony mengingatkan bahwa akar masalahnya ada pada lonjakan utang negara selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi dan Sri Mulyani. Berdasarkan catatannya, utang pemerintah naik drastis dari Rp2.609 triliun pada 2014 menjadi Rp8.680 triliun di akhir 2024. "Beban bunga utang otomatis ikut membengkak empat kali lipat, dan itu menggerus APBN. Hampir seperempat penerimaan pajak kini hanya habis untuk bayar bunga utang," katanya.
Data semester I 2025 memperlihatkan situasi semakin parah. Penerimaan pajak tercatat Rp985,2 triliun, turun 4,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Di sisi lain, pembayaran bunga utang mencapai Rp247,2 triliun atau 25,1 persen dari penerimaan pajak. Artinya, hanya 6,35 persen dari PDB yang tersisa untuk belanja negara. Angka ini sangat minim dan jauh dari cukup untuk menopang kebutuhan pembangunan maupun kesejahteraan masyarakat.
Lebih jauh, Anthony menilai ada "keanehan" dalam pola kenaikan PBB di berbagai daerah. Bukan hanya karena terjadi hampir serentak, tetapi juga lonjakannya sangat tinggi, hingga ratusan persen. Fenomena ini membuat publik bertanya-tanya: apakah ada skenario politik besar yang tengah menunggangi krisis fiskal?
"Lonjakan pajak yang fantastis ini pasti memicu perlawanan keras. Lihat saja di Pati, Jawa Tengah, sudah berujung gejolak. Sangat mungkin gelombang serupa meluas jika tidak segera dihentikan," tandasnya. Ia menyebut potensi kerusuhan sosial tidak bisa diabaikan jika rakyat merasa negara hanya tahu memungut, tanpa peduli pada nasib mereka.
Bagi sebagian pengamat, kondisi ini seperti lingkaran setan. Utang membengkak → bunga utang naik → APBN tertekan → dana transfer ke daerah dipotong → daerah menaikkan pajak → rakyat makin terbebani. Sementara solusi fundamental seperti efisiensi belanja negara, audit proyek strategis, atau renegosiasi utang belum tampak jelas.
Tak sedikit juga yang melihat, krisis fiskal ini bisa jadi bola liar di ranah politik. PBB yang semula hanya persoalan teknis administrasi, kini berpotensi memicu gelombang protes nasional. Pemerintah daerah serba salah: menolak instruksi pusat berarti terancam sanksi, melaksanakan berarti menghadapi amarah rakyat. Dalam posisi seperti ini, Sri Mulyani dan jajaran Kemenkeu berada di garis tembak opini publik.
Situasi ini juga menjadi bahan bakar bagi oposisi untuk menyerang kebijakan fiskal warisan era Jokowi. Kenaikan PBB dianggap bukti konkret kegagalan pengelolaan utang. "Ini bukan sekadar angka di atas kertas, tapi nyata-nyata bikin dapur rakyat makin sesak," kata salah seorang pengamat fiskal lain.
Dengan tekanan politik, ekonomi, dan sosial yang terus meningkat, pemerintah pusat dituntut segera mencari jalan keluar. Jika tidak, bukan hanya stabilitas fiskal yang terancam, tapi juga legitimasi pemerintahan. Rakyat sudah mulai merasakan beban nyata di lapangan, dan sejarah menunjukkan bahwa gejolak sosial paling sering berawal dari urusan pajak dan perut.
Krisis fiskal mungkin sulit dihindari, tetapi pemerintah masih punya pilihan: mengurangi pemborosan, transparan dalam mengelola utang, dan berhenti menjadikan rakyat sebagai penopang terakhir. Jika tidak, lonjakan PBB hanya akan menjadi pemicu badai yang lebih besar. Pada akhirnya, krisis fiskal bukan lagi isu teknis, melainkan persoalan politik dan legitimasi kekuasaan.
_____________