Kejaksaan Agung (Kejagung) membantah adanya dugaan beking keluarga yang menyebabkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) tidak kunjung mengeksekusi hukuman badan terhadap terpidana kasus pencemaran nama baik dan fitnah, Silfester Matutina.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, menegaskan bahwa pihaknya sudah memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejari Jaksel untuk segera melaksanakan eksekusi terhadap Silfester. Ia memastikan tidak ada hubungan antara terpidana dengan pegawai di Kejari Jaksel yang dapat menghambat proses hukum. "Kami sudah cek, berdasarkan informasi dari Kejari Jakarta Selatan, tidak ada kaitannya yang bersangkutan dengan pegawai di sana," kata Anang saat memberikan keterangan di Kejagung, Kamis, 14 Agustus 2025.
Anang menilai eksekusi segera harus dilakukan demi menjamin kepastian hukum. Tanggung jawab pelaksanaan berada di tangan Kejari Jaksel. Meski Silfester diketahui tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Anang menegaskan bahwa proses tersebut tidak seharusnya menghambat pelaksanaan eksekusi. "Memang dari konfirmasi terakhir, yang bersangkutan sedang mengajukan PK. Namun PK tidak menghalangi eksekusi," jelasnya.
Meski demikian, hingga saat ini Silfester belum dibawa ke sel untuk menjalani hukuman yang sudah diputuskan. Kejari Jaksel belum memberikan penjelasan terkait lambatnya pelaksanaan eksekusi ini.
Silfester Matutina adalah Ketua Umum Solidaritas Merah Putih. Kasusnya bermula pada 2017 ketika tim pengacara mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla melaporkannya ke Bareskrim Mabes Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah. Proses hukum berjalan, dan pada 2018 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Silfester bersalah dengan vonis satu tahun penjara. Tidak puas, ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, tetapi justru hukuman diperberat menjadi satu tahun enam bulan penjara.
Upaya hukum Silfester berlanjut ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun pada 2019, MA menguatkan putusan PT DKI Jakarta sehingga hukuman satu tahun enam bulan tetap berlaku. Dengan putusan tersebut, perkara dinyatakan inkrah dan seharusnya segera dieksekusi.
Faktanya, sejak 2019 hingga kini, Silfester belum juga mendekam di balik jeruji. Kejagung mengaku sudah memerintahkan Kejari Jaksel untuk mengeksekusi, namun perintah itu belum terlaksana. Situasi ini memicu sorotan dari Komisi Kejaksaan (Komjak). Anggota Komjak, Nurokhman, menyatakan pihaknya akan mendatangi Kejari Jaksel untuk mencari tahu kendala yang sebenarnya. "Komisi Kejaksaan akan datang ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk menanyakan masalahnya ada di mana," ujarnya melalui pesan singkat, Selasa, 12 Agustus 2025.
Nurokhman menegaskan, PK bukan alasan untuk menunda eksekusi, apalagi jika putusan sudah inkrah sejak bertahun-tahun lalu. Menurutnya, menunda eksekusi dengan dalih PK akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. "Kasus ini sudah inkrah sejak 2019. Jika alasan PK digunakan untuk menunda, akan banyak terpidana lain menempuh langkah serupa demi menghindari penjara," ucapnya.
Ia khawatir jika hal tersebut dibiarkan, ke depannya proses hukum akan terganggu karena setiap terpidana bisa mengulur waktu eksekusi hanya dengan mengajukan PK. "Ini sangat buruk untuk penegakan hukum kita. Karena itu kami berharap Kejaksaan Negeri segera melaksanakan eksekusi," tambahnya.
Sorotan publik pun semakin tajam mengingat kasus ini melibatkan sosok yang cukup dikenal dan pernah bersinggungan dengan tokoh besar nasional. Pengamat hukum menilai, lambannya eksekusi dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, serta memunculkan spekulasi adanya intervensi atau perlindungan tertentu, walaupun Kejagung telah membantah hal tersebut.
Kasus Silfester kini menjadi contoh nyata bagaimana lemahnya eksekusi putusan pengadilan bisa mengundang kritik keras dari berbagai pihak. Bagi masyarakat, inkonsistensi dalam menegakkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah cermin dari tantangan besar yang masih dihadapi sistem hukum di Indonesia. Jika Kejari Jaksel tidak segera bertindak, bukan tidak mungkin isu ini akan terus menjadi sorotan dan memperburuk citra penegakan hukum di mata publik.
Sampai berita ini diturunkan, Kejari Jaksel belum memberikan keterangan resmi mengenai kapan pelaksanaan eksekusi akan dilakukan. Publik kini menunggu langkah nyata yang diambil untuk memastikan proses hukum berjalan sebagaimana mestinya. Kejelasan penegakan hukum terhadap Silfester Matutina akan menjadi ujian serius bagi integritas aparat kejaksaan di mata rakyat.
_____________