Desakan agar Presiden Prabowo Subianto segera mencopot Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali menjadi sorotan publik. Kali ini datang dari pengamat politik Muslim Arbi, yang menilai bahwa posisi Listyo Sigit di pucuk Polri sudah tidak sesuai dengan semangat pemerintahan baru. Menurutnya, Listyo justru menjadi simbol kuat dari keterikatan dengan masa lalu, terutama dengan pemerintahan Joko Widodo yang disebut telah membangun lingkaran kekuasaan tertutup.
Muslim menyebut Listyo sebagai bagian dari apa yang disebut "Geng Solo", sebuah istilah yang merujuk pada kelompok kekuasaan informal yang dekat dengan Jokowi. Meskipun Listyo bukan berasal dari Solo secara geografis, ia dianggap berada dalam lingkaran karena kariernya yang meroket selama dua periode Jokowi. "Presiden Prabowo harus berani memutus mata rantai loyalitas lama yang tidak sejalan dengan arah reformasi hukum yang diusung saat ini," ujarnya.
Ketidaknetralan Polri di bawah komando Listyo Sigit juga menjadi sorotan utama. Muslim menilai, dalam beberapa kasus besar, institusi ini gagal menampilkan wajah yang independen dan adil. Salah satu contohnya adalah tragedi KM 50, peristiwa tragis yang merenggut nyawa enam pengawal Habib Rizieq Syihab pada akhir 2020. Hingga kini, kasus tersebut masih menyisakan luka dalam masyarakat karena belum adanya penyelesaian yang transparan.
Selain itu, tragedi di Stadion Kanjuruhan dan pembunuhan Brigadir J oleh eks Kadiv Propam Ferdy Sambo turut memperkuat pandangan bahwa kepolisian tengah menghadapi krisis kredibilitas. "Apa yang terjadi pada kasus Sambo adalah gambaran nyata bagaimana kekuasaan bisa beroperasi tanpa kontrol di tubuh Polri. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi," tegas Muslim Arbi.
Muslim menilai, jika Presiden Prabowo serius ingin menjalankan agenda reformasi hukum yang substantif, maka langkah awal yang paling krusial adalah mengganti Kapolri. "Kapolri bukan sekadar jabatan administratif. Ini adalah simbol loyalitas institusi terhadap cita-cita hukum dan keadilan. Dan saat ini, simbol itu rusak," ucapnya. Ia juga menyebut perlunya reformasi Polri yang bukan hanya soal manajemen, tapi juga ideologi dan keberpihakan terhadap rakyat.
Menurut Muslim, aparat penegak hukum harus kembali ke peran sejatinya sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan pribadi atau kelompok politik tertentu. Ia mengingatkan bahwa selama ini hukum telah dijadikan alat represif untuk mengamankan kekuasaan, dan jika tidak dihentikan, akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan keadilan.
Ketika ditanya soal siapa yang layak menggantikan Listyo Sigit, Muslim menolak menyebut nama. Namun ia menyarankan agar Presiden membentuk tim evaluasi independen untuk menilai secara objektif calon Kapolri berikutnya. Menurutnya, keputusan ini tidak boleh didikte oleh kelompok-kelompok yang dulu bermain dalam struktur kekuasaan lama. "Sudah saatnya Presiden Prabowo mengabaikan bisikan dari lingkaran lama dan memilih berdasarkan integritas serta profesionalisme," katanya.
Sejak menjabat sebagai Presiden pada Oktober 2024, Prabowo memang belum melakukan perubahan signifikan di tubuh Polri. Langkah ini dinilai oleh sebagian sebagai strategi menjaga kestabilan. Namun, bagi banyak kalangan, terutama pengamat dan aktivis, lambannya pergantian pimpinan institusi vital seperti Polri justru berpotensi membekukan reformasi hukum yang telah lama ditunggu.
Muslim Arbi menegaskan bahwa publik sedang menanti keberanian politik dari Prabowo. Jika tidak segera diambil langkah konkret, ia khawatir masyarakat akan memandang pemerintahan ini tak ubahnya kelanjutan status quo. "Perubahan harus dimulai dari jantung kekuasaan hukum: Polri. Di sanalah simbol keberanian atau ketakutan Prabowo akan terlihat," pungkasnya dengan nada tegas.
_____________