Bayangkan langit mendadak gelap, tanah berguncang hebat, lalu ombak raksasa setinggi gedung 30 lantai datang menghantam daratan. Begitulah kesaksian warga Ambon pada tahun 1674, ketika tsunami setinggi hampir 100 meter meluluhlantakkan pulau itu. Dalam sekejap, ribuan orang terseret ke laut, meninggalkan kisah yang kelam sekaligus monumental dalam sejarah bencana di Indonesia.
Suara gemuruh air bercampur teriakan manusia membuat suasana malam itu seolah dunia benar-benar berakhir. Peristiwa ini terekam dengan detail oleh Georg Eberhard Rumphius, seorang ahli botani asal Jerman yang datang ke Ambon pada 1653 setelah berbulan-bulan berlayar dari Portugal. Ia bukan hanya saksi bencana, tapi juga ilmuwan yang menuliskan tragedi tersebut dalam catatan ilmiahnya yang kini menjadi rujukan sejarah.
Awalnya, Rumphius bekerja sebagai tentara VOC, namun kemudian memilih menjadi peneliti alam dan budaya Ambon. Dari pengamatan panjangnya lahir karya besar Herbarium Amboinense, yang tak hanya mengulas kekayaan hayati Maluku, tapi juga tragedi tsunami paling mematikan di Nusantara. Dalam tulisannya, Rumphius menggambarkan bagaimana bencana itu datang tanpa peringatan dan menyapu kehidupan di sekitar Kastil Victoria.
Sabtu malam, 17 Februari 1674, menjadi tanggal kelam yang diingat hingga kini. Sekitar pukul 19.30, Rumphius masih bekerja seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda bahaya, hingga tiba-tiba lonceng kastil berdentang sendiri dan tanah berguncang hebat seperti ombak laut. "Orang-orang berjatuhan ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan," tulisnya dalam catatan yang kini tersimpan sebagai warisan ilmiah.
Warga berlarian menuju lapangan bawah benteng untuk menyelamatkan diri, namun keputusan itu justru menjadi petaka. Dalam hitungan detik, gelombang air laut setinggi puluhan meter datang menerjang daratan, menelan rumah-rumah dan manusia di sekitarnya. "Air itu melampaui atap rumah dan menyapu bersih desa. Batu karang terlempar jauh ke pedalaman," kenang Rumphius yang nyaris ikut terseret.
Pria kelahiran 1 November 1627 itu termasuk sedikit yang berhasil berlari ke tempat tinggi. Namun, lebih dari 2.300 orang tewas di Ambon dan Pulau Seram, termasuk istri dan anak perempuan Rumphius. Kehilangan besar ini tak membuatnya berhenti meneliti. Justru dari tragedi itulah ia melahirkan dokumentasi ilmiah pertama tentang bencana tsunami di Nusantara.
Ratusan tahun kemudian, kisah Rumphius menjadi bukti sejarah penting bagi dunia sains modern. Menurut catatan BMKG, kisah ini merupakan dokumentasi tertua tentang tsunami di Indonesia dan menjadi dasar kajian ilmiah tentang potensi bencana di kawasan timur Indonesia. "Gempa Ambon 1674 merupakan gempa dan tsunami dahsyat pertama dalam catatan Nusantara," ujar Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, dalam webinar "Peringatan Tsunami Ambon 1674".
Penelitian kontemporer memperkirakan gempa tersebut berkekuatan sekitar M7,9 dan bersifat destruktif. Tak hanya getaran gempa yang menimbulkan kerusakan, tapi juga efek lanjutan berupa tsunami dan fenomena likuifaksi — hilangnya kekuatan tanah akibat getaran hebat. Rumphius bahkan mencatat bagaimana tanah "bergerak naik turun seperti lautan", menggambarkan gejala likuifaksi secara alami dalam catatan abad ke-17.
Tsunami yang menyusul diperkirakan mencapai ketinggian 100 meter. BMKG menjelaskan, selain karena gempa, gelombang ekstrem itu juga dipicu oleh longsoran bawah laut di sekitar pantai Ambon. Hal ini mirip dengan pola yang terjadi pada bencana Tsunami Flores 1992 dan Tsunami Aceh 2004, di mana longsoran dasar laut memperkuat gelombang hingga berkali lipat.
"Kalau kita lihat kasus-kasus tsunami besar di Indonesia, kontribusi longsoran pantai itu signifikan. Bahkan dengan magnitudo yang sama, efeknya bisa jauh berbeda," jelas Daryono. Dari sini, para ahli menyimpulkan bahwa tsunami Ambon 1674 adalah kombinasi antara gempa besar dan longsor pantai yang menyebabkan gelombang ekstrem.
Kini, empat abad kemudian, peristiwa itu menjadi pelajaran berharga bagi dunia modern. Catatan Rumphius bukan sekadar sejarah, tapi juga pengingat pentingnya riset, mitigasi, dan edukasi kebencanaan. Pemerintah melalui BMKG dan lembaga kebencanaan terus mengembangkan sistem peringatan dini agar tragedi serupa tak kembali memakan banyak korban.
Kisah tsunami Ambon 1674 juga menjadi pengingat bahwa kekuatan alam tak bisa diremehkan, namun bisa diantisipasi melalui ilmu pengetahuan. Seperti halnya Rumphius yang kehilangan keluarga namun tetap menulis, semangat itu kini hidup kembali dalam upaya ilmiah generasi masa kini — membangun masa depan yang lebih tangguh di hadapan bencana.
_____________
liputansembilan