Kepala Kepolisian Sektor Ciledug, Kompol RA Dalby, mengonfirmasi insiden tersebut. Ia menjelaskan bahwa pelaku mendatangi korban dengan maksud meminta uang senilai Rp 300.000, dengan alasan uang "pembinaan". Ironisnya, alih-alih memberikan perlindungan atau dukungan, tindakan ini justru menjadi bentuk tekanan dan intimidasi terhadap pelaku usaha mikro yang sedang berjuang mencari nafkah.
Uang Pembinaan atau Modus Pemerasan?
Menurut keterangan resmi dari kepolisian, dalih uang pembinaan sering digunakan oleh oknum tertentu untuk menyamarkan niat sebenarnya, yakni memeras pedagang kaki lima yang dianggap lemah secara ekonomi dan sosial. Dalam kasus ini, sang penjual es teh hanya mampu memberikan Rp 100.000 karena keterbatasan keuangan.
Namun, bukannya memahami kondisi korban, AHZ kembali mendatangi lokasi beberapa hari kemudian, kali ini dengan membawa temannya yang berinisial DJ alias Pitak. Mereka menagih sisa uang sebesar Rp 200.000 dan bahkan membawa kuitansi bertanggal 29 April 2025, yang mencantumkan total pembayaran Rp 300.000. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pemerasan tersebut dilakukan secara terstruktur dan terencana.
Dalam kondisi tertekan, korban pun tidak memberikan uang yang diminta. Akibatnya, AHZ dan rekannya mengancam korban agar tidak lagi berjualan di lokasi tersebut jika tidak membayar. Beruntung, saat kejadian berlangsung, korban sempat merekam aksi ancaman tersebut dalam sebuah video, yang kemudian dijadikan alat bukti utama dalam pelaporan ke pihak berwajib.
Korban Melapor, Pelaku Ditangkap Polisi
Tidak tinggal diam, penjual es teh Solo itu akhirnya memberanikan diri melapor ke polisi dengan menyertakan video rekaman pemerasan sebagai bukti kuat. Tindakan cepat pun dilakukan oleh Unit Reserse Kriminal Polsek Ciledug. Berdasarkan laporan dan bukti yang diterima, polisi berhasil menangkap AHZ, sementara rekan pelaku, DJ, masih dalam proses pengejaran.
"Unit Reskrim kami segera menindaklanjuti laporan tersebut dan mengamankan satu terduga pelaku," kata Kompol Dalby. Ia juga menambahkan bahwa tindakan seperti ini telah terjadi berulang kali terhadap pedagang lain di sekitar lokasi. Bahkan, menurut hasil penyelidikan awal, AHZ kerap meminta uang hingga Rp 700.000 per pedagang dengan modus serupa.
Pedagang Takut Melapor karena Pelaku Anggota Ormas
Fenomena seperti ini bukan hal baru di kalangan pedagang kaki lima. Banyak di antara mereka memilih diam karena khawatir akan intimidasi dari oknum ormas yang dianggap punya "kuasa" di wilayah tertentu. Keberadaan seragam dan atribut organisasi sering digunakan sebagai alat menakut-nakuti, menciptakan atmosfer ketakutan yang membuat para korban ragu untuk melaporkan tindakan kriminal tersebut.
Kompol Dalby pun mengimbau masyarakat, khususnya para pedagang kecil, untuk tidak takut menyampaikan aduan jika menjadi korban pemerasan. "Kami mendorong masyarakat untuk tidak merasa takut dan segera melaporkan jika mengalami hal serupa," ujarnya. Ia menegaskan bahwa polisi akan memberikan perlindungan maksimal bagi para korban dan tidak akan mentolerir tindakan premanisme berkedok ormas.
Ancaman Hukuman Berat Menanti Pelaku Pemerasan
Untuk perbuatannya, AHZ kini dijerat dengan Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang tindak pidana pemerasan. Pasal ini mengatur bahwa setiap orang yang memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, dapat dikenakan hukuman pidana maksimal sembilan tahun penjara.
Hukuman ini tidak hanya berlaku bagi pelaku utama, namun juga bagi siapa pun yang turut serta atau membantu dalam tindak pemerasan. Oleh karena itu, apabila DJ berhasil ditangkap, ia pun dapat dikenakan pasal serupa. Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran penting bahwa siapa pun yang menyalahgunakan status atau atribut ormas untuk kepentingan pribadi akan berhadapan dengan konsekuensi hukum yang serius.
Premanisme Berkedok Ormas: Ancaman Nyata Bagi UMKM
Peristiwa ini membuka kembali diskusi publik mengenai maraknya premanisme yang berkedok organisasi masyarakat. Seharusnya, ormas hadir sebagai wadah aspirasi dan pelindung masyarakat, bukan justru menjadi sumber tekanan. Apalagi terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sudah banyak berjasa dalam menggerakkan roda ekonomi di tingkat akar rumput.
Bila tidak ditindak secara tegas, praktik seperti ini akan merusak kepercayaan publik terhadap keberadaan ormas itu sendiri. Oleh karena itu, perlindungan UMKM dari praktik premanisme wajib menjadi prioritas aparat penegak hukum dan pemerintah daerah.
Peran Masyarakat: Jangan Diam Saat Menjadi Saksi
Kasus pemerasan terhadap penjual es teh Solo ini juga menunjukkan pentingnya peran aktif masyarakat. Tanpa keberanian korban dalam merekam dan melaporkan kejadian, kasus ini mungkin akan terus berulang dan memakan lebih banyak korban. Rekaman video menjadi bukti yang sangat penting dalam membongkar kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan namun seringkali luput dari proses hukum.
Hal ini juga menunjukkan bahwa teknologi bisa menjadi alat penting dalam melawan ketidakadilan. Dalam era digital seperti sekarang, dokumentasi visual seperti video atau rekaman suara memiliki kekuatan hukum yang cukup kuat bila digunakan secara tepat. Masyarakat diimbau untuk tidak ragu menggunakan rekaman video sebagai alat bukti dalam kasus pemerasan, penipuan, maupun ancaman.
Sumber: kompas
_____________