Dalam surat tersebut, FDRA meminta secara khusus agar produk alas kaki dikeluarkan dari daftar barang impor yang dikenai tarif tambahan oleh pemerintah. Para penandatangan menyoroti bahwa industri ini sejak lama telah dibebani oleh tarif bea masuk yang tinggi, bahkan sebelum kebijakan baru diberlakukan. Tarif yang dikenakan pada produk sepatu—termasuk alas kaki anak-anak—bisa mencapai angka yang sangat besar, seperti 20 persen, 37,5 persen, atau bahkan lebih. Dengan diberlakukannya tarif tambahan akibat ketegangan dagang dengan China, mereka menyebut kondisi ini sebagai "beban ganda" yang tidak bisa lagi ditoleransi.
"Mengingat sifat unik industri alas kaki di Amerika Serikat, maka bisnis-bisnis dalam sektor ini serta keluarga-keluarga Amerika kini menghadapi ancaman yang sangat serius akibat lonjakan biaya yang drastis. Tidak sedikit bisnis yang kini berada di ambang kebangkrutan," tulis FDRA dalam suratnya.
Permintaan dari FDRA ini bukan tanpa dasar. Mayoritas perusahaan sepatu di AS memang mengandalkan manufaktur dari luar negeri, khususnya dari China dan negara-negara Asia lainnya. Negara-negara tersebut saat ini menjadi sasaran utama tarif tinggi yang diberlakukan oleh administrasi Trump sebagai bagian dari kebijakan proteksionisnya untuk menekan dominasi perdagangan China.
Seperti diketahui, pada awal April 2025, Presiden Trump mengumumkan kebijakan baru yang menetapkan tarif impor besar-besaran terhadap produk dari China. Dalam beberapa kategori, tarif tersebut bisa mencapai hingga 145 persen. Langkah ini ditempuh sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk menekan defisit perdagangan dan memaksa China untuk mengubah sejumlah praktik ekonominya yang dianggap merugikan Amerika Serikat.
Namun, kebijakan tersebut justru memicu kekhawatiran besar di kalangan pelaku industri domestik, terutama mereka yang sangat bergantung pada rantai pasok global yang telah terbangun selama puluhan tahun. Industri sepatu adalah salah satu sektor yang paling terdampak. Ketergantungan pada fasilitas produksi luar negeri, seperti China dan Vietnam, membuat mereka sangat rentan terhadap kebijakan tarif semacam ini. Sebuah produk alas kaki, misalnya, biasanya memerlukan komponen yang berasal dari berbagai negara dan diproses di lokasi manufaktur luar negeri yang efisien secara biaya.
Situasi ini menciptakan tekanan berlapis pada perusahaan-perusahaan besar yang sebelumnya mampu menjaga harga tetap kompetitif untuk konsumen Amerika. Dengan lonjakan tarif, harga pokok produksi naik drastis, dan imbasnya akan dirasakan langsung oleh konsumen dalam bentuk harga jual yang lebih tinggi. Dalam jangka panjang, daya beli masyarakat pun akan tertekan, dan industri ritel akan mengalami perlambatan.
Dalam konteks ini, FDRA mencoba menegaskan bahwa industri alas kaki tidak boleh disamaratakan dengan sektor-sektor lain yang mungkin lebih mudah menyesuaikan diri dengan perubahan kebijakan perdagangan. Menurut mereka, perlu adanya pemahaman bahwa relokasi fasilitas produksi ke luar China bukanlah proses yang bisa dilakukan dalam waktu singkat, mengingat keterkaitan rantai pasok, kebutuhan tenaga kerja terampil, dan investasi besar dalam infrastruktur produksi.
Sementara itu, dari pihak pemerintah China, kebijakan tarif ini juga telah memicu reaksi. Kementerian Perdagangan China menyatakan bahwa mereka tengah mengevaluasi kemungkinan untuk kembali membuka dialog dengan Amerika Serikat guna membahas langkah-langkah penyesuaian tarif. China juga mempertimbangkan opsi-opsi strategis dalam menghadapi tekanan tarif ini, termasuk kemungkinan pemberlakuan tarif balasan terhadap produk-produk impor dari AS.
Di sisi industri, dampak dari ketidakpastian akibat perang dagang ini mulai tampak. Meskipun Adidas, salah satu pemain utama di pasar global, mencatatkan performa yang positif pada kuartal pertama 2025, perusahaan tersebut tetap memilih untuk tidak menaikkan proyeksi kinerjanya untuk keseluruhan tahun. Mereka menyatakan bahwa situasi perdagangan global saat ini masih sangat fluktuatif dan penuh ketidakpastian, sehingga langkah konservatif perlu diambil.
Sikap serupa juga diambil oleh Skechers. Perusahaan yang dikenal dengan lini sepatu kasual dan olahraga ini bahkan memutuskan untuk menarik kembali proyeksi tahunan mereka. Mereka secara terbuka mengakui bahwa ketidakpastian akibat kebijakan perdagangan yang terus berubah membuat mereka tidak dapat memprediksi dengan akurat prospek bisnis ke depan. Kondisi ini mencerminkan betapa besar dampak kebijakan tarif terhadap perencanaan bisnis dan stabilitas pasar.
Kondisi serba tidak pasti ini juga memberi tekanan pada usaha-usaha kecil dan menengah dalam industri alas kaki yang tidak memiliki kapasitas seperti perusahaan besar untuk menyerap beban tarif. Banyak di antaranya mengandalkan margin keuntungan yang tipis, dan lonjakan biaya akibat tarif akan memaksa mereka menaikkan harga atau bahkan menutup bisnis. Dalam suratnya, FDRA mengingatkan bahwa ratusan usaha kecil di seluruh negeri bisa bangkrut jika kebijakan ini tidak segera dievaluasi ulang.
Secara umum, FDRA menegaskan bahwa jika tujuan kebijakan tarif adalah untuk mendorong produksi dalam negeri, maka perlu waktu bertahun-tahun untuk membangun kapasitas tersebut. Saat ini, infrastruktur manufaktur alas kaki di dalam negeri sangat terbatas dan tidak mampu menggantikan volume produksi dari luar negeri. Tanpa kebijakan transisi yang bijak dan mendukung, langkah proteksionis ini justru bisa menjadi bumerang bagi perekonomian domestik.
Permintaan pengecualian dari FDRA merupakan bentuk nyata dari keresahan industri yang sedang bergulat dengan dampak kebijakan global yang kompleks. Mereka mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali strategi perdagangannya dan mengedepankan pendekatan yang lebih realistis dan kolaboratif. Bagi FDRA dan para pelaku industri, langkah ke depan harus melibatkan dialog terbuka, perlindungan terhadap konsumen, serta keberlanjutan bisnis jangka panjang.
_____________