_____________
KPK Tangkap Kadis PUPR Sumut, Berawal dari Laporan Jalan Rusak
Ads
Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali jadi sorotan publik. Kali ini, aksi senyap lembaga antirasuah itu menyasar Mandailing Natal, Sumatera Utara. Dari penangkapan itu, lima orang langsung ditetapkan sebagai tersangka, salah satunya adalah Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut, Topan Ginting.
Yang menarik, OTT ini ternyata berawal dari suara rakyat. KPK mengungkap bahwa laporan masyarakat mengenai jalan rusak dan kualitas proyek yang buruk menjadi pintu masuk pengungkapan kasus dugaan korupsi ini. Laporan itu diterima sejak beberapa bulan lalu, dan KPK pun langsung menurunkan tim untuk menyelidiki proyek infrastruktur yang diduga bermasalah.
Operasi digelar pada Kamis malam, 26 Juni 2025. Enam orang diamankan dan langsung diterbangkan ke Jakarta keesokan harinya. Setelah dilakukan pemeriksaan, lima orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Topan Ginting selaku Kadis PUPR Sumut, Rasuli Efendi Siregar selaku Kepala UPTD Gunung Tua, Heliyanto dari Satker PJN Wilayah I, serta dua direktur perusahaan swasta yakni M Akhirun Pilang dan M Rayhan Dulasmi Pilang.
KPK membagi kasus ini dalam dua klaster besar. Pertama, dugaan korupsi proyek jalan milik Dinas PUPR Provinsi Sumut. Kedua, proyek-proyek yang berada di bawah kendali Satker Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I. Kedua klaster ini diduga kuat sarat dengan praktik pengaturan proyek dan suap.
Menurut keterangan dari Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur, lembaganya sempat dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, menunggu proyek berjalan hingga uang suap benar-benar mengalir secara utuh, yang nilainya bisa mencapai Rp 46 miliar dari total proyek senilai Rp 231,8 miliar. Kedua, langsung bertindak cepat lewat OTT untuk mencegah proyek dijalankan oleh perusahaan yang menang secara curang. KPK memilih opsi kedua—meski uang yang diamankan dalam OTT tidak besar, tapi manfaatnya lebih besar untuk masyarakat karena proyeknya bisa diselamatkan.
Dalam kasus ini, Topan Ginting disebut sebagai sosok sentral. Ia diduga kuat mengatur siapa perusahaan yang harus menang tender proyek jalan. Dirut PT DNG, Akhirun Pilang, disebut-sebut sebagai pihak yang "dibawa" oleh Topan, dan kemudian ditugaskan oleh Rasuli untuk mengerjakan dua proyek senilai Rp 157,8 miliar, yaitu Jalan Sipiongot–Batas Labusel dan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot.
Modusnya klasik tapi masih sering terjadi—pejabat menentukan pemenang tender, lalu disusul pemberian “kompensasi” dalam bentuk uang. Kasus ini seakan jadi pengingat bahwa praktik kolusi dan suap dalam proyek infrastruktur daerah masih sulit diberantas, meskipun proyek-proyek tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kini kelima tersangka telah ditahan untuk 20 hari pertama di Rutan Cabang KPK. Satu orang lainnya yang sempat diamankan masih berstatus sebagai saksi karena belum cukup bukti. Masyarakat pun menunggu langkah selanjutnya dari KPK, apakah akan ada tersangka tambahan atau perluasan kasus ke daerah atau proyek lainnya.
Yang jelas, OTT kali ini menjadi bukti bahwa suara rakyat—bahkan hanya keluhan soal jalan rusak—masih bisa jadi amunisi penting untuk memberantas korupsi. Ketika laporan warga ditindaklanjuti dengan serius, hasilnya bisa sangat berdampak: koruptor ditangkap, proyek diselamatkan, dan uang negara bisa digunakan semestinya.