Mantan Presiden Joko Widodo alias Jokowi dulunya adalah salah satu sosok paling berpengaruh di panggung politik nasional. Namun kini, menurut analisis dari Direktur Eksekutif Infonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, pengaruh pria asal Solo itu mulai terlihat memudar. Fenomena ini, katanya, bisa dilihat dari sejumlah indikasi yang mencolok, termasuk berkurangnya pertemuan Jokowi dengan Presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Dedi menyebut, tekanan sosial dan politik yang kini menghantam Jokowi secara langsung menjadi tanda bahwa ia tidak lagi sekuat dulu. Apalagi, beberapa anggota kabinet seperti Zulkifli Hasan dan Bahlil Lahadalia kini mulai menyatakan dukungan penuh kepada Prabowo — sinyal yang cukup kuat bahwa peralihan kekuasaan secara politik benar-benar sedang terjadi.
Gibran Masih Mengambang, Bikin Posisi Jokowi Goyah?
Tak hanya soal pertemuan dan dukungan elite politik, Dedi juga menyoroti belum jelasnya posisi Gibran Rakabuming Raka di panggung partai politik. Meski saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden, putra sulung Jokowi itu belum juga memilih atau bergabung secara resmi ke partai manapun. Ini menurut Dedi menjadi salah satu tanda bahwa kekuatan politik Jokowi tengah mengalami ketidakseimbangan.
Padahal, biasanya seorang tokoh sekelas wakil presiden sudah memiliki 'rumah politik' yang jelas. Ketidakpastian posisi Gibran menciptakan celah dan membuat berbagai pihak bertanya-tanya, apakah ini pertanda bahwa Jokowi mulai ditinggalkan bahkan oleh lingkar kekuasaan yang dulu ia bentuk?
Prabowo Dapat Untung dari Redupnya Jokowi
Menariknya, Dedi menilai bahwa memudarnya pengaruh Jokowi justru memberikan keuntungan bagi pemerintahan Prabowo. Dengan berkurangnya bayang-bayang politik dari pendahulunya, Prabowo bisa lebih leluasa menjalankan strategi dan konsolidasi politik tanpa perlu mengakomodasi kepentingan atau tekanan dari lingkaran Jokowi.
Situasi ini menurutnya akan membuat pemerintahan baru bisa berjalan lebih stabil dan fokus, tanpa perlu terganggu oleh tarik-menarik kekuasaan yang biasanya terjadi ketika mantan presiden masih punya pengaruh besar di belakang layar.
PDIP dan Prabowo Makin Dekat, Tapi Tetap Kritis pada Gibran
Di sisi lain, perkembangan menarik juga datang dari PDIP. Partai berlambang banteng ini dinilai mulai menunjukkan sikap yang lebih kooperatif terhadap Presiden Prabowo. Bahkan, menurut pengamat politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, posisi PDIP kini sudah mirip partai koalisi pemerintahan, meski belum menyatakan secara resmi bergabung.
"PDIP sudah seperti berada dalam pemerintahan secara de facto. Mereka sangat akomodatif terhadap kebijakan-kebijakan Prabowo," ujar Jamiluddin. Tapi meskipun mendekat ke Prabowo, PDIP tampaknya belum bisa berdamai dengan Gibran. Bahkan kritik-kritik tajam justru diarahkan ke arah Gibran dan kelompok politik yang masih dianggap bagian dari pengaruh Jokowi.
Kritik ke "Geng Jokowi" Masih Tajam
Fraksi PDIP di DPR RI tidak segan-segan melontarkan kritik kepada para menteri atau politisi yang masih dianggap berada di orbit Jokowi. Baik itu dari kalangan menteri yang masih bertahan di Kabinet Prabowo, maupun kelompok politik yang dinilai masih setia kepada Jokowi.
Hal ini mengindikasikan bahwa PDIP seolah-olah ingin menjauh dari "geng Jokowi", meskipun secara garis besar tetap menjaga hubungan baik dengan Presiden Prabowo. PDIP tampak ingin menegaskan sikapnya bahwa mereka mendukung pemerintahan baru, tapi tidak dengan pengaruh lama yang ditinggalkan oleh Jokowi.
Gerindra Paham Dinamika Ini, Prabowo Jaga Hubungan dengan PDIP
Gerindra sebagai partai pengusung utama Prabowo tampaknya sangat memahami dinamika ini. Menurut Jamiluddin, baik Prabowo maupun partainya terus berusaha menjaga komunikasi yang baik dengan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP.
Prabowo disebut tetap menjaga silaturahmi, baik secara langsung maupun lewat perantara-perantara politik yang dipercaya. Upaya ini dilakukan agar hubungan antara pemerintah dan PDIP tetap harmonis, sekaligus menjaga stabilitas koalisi de facto yang terbentuk.
Ini juga memperlihatkan bagaimana politik Indonesia berjalan penuh kalkulasi. Dalam kondisi seperti sekarang, pendekatan diplomatis jauh lebih diutamakan ketimbang konfrontasi terbuka.
Apa Selanjutnya untuk Jokowi dan Gibran?
Dengan berbagai perkembangan ini, pertanyaannya sekarang adalah: ke mana arah politik Jokowi selanjutnya? Apakah ia akan tetap berusaha mempengaruhi arah kebijakan pemerintahan baru dari balik layar? Atau justru memilih untuk benar-benar pensiun dari dunia politik dan memberi panggung sepenuhnya kepada generasi berikutnya?
Begitu juga dengan Gibran, yang masih tampak mengambang tanpa identitas partai yang jelas. Jika ia terus-menerus dikritik oleh partai besar seperti PDIP dan tidak mendapat tempat solid di koalisi pemerintah, maka karier politiknya bisa jadi menghadapi jalan terjal. Apalagi publik tentu akan menyoroti sejauh mana dia bisa berdiri sendiri tanpa bayang-bayang ayahnya.
Kesimpulan: Politik Bergerak Cepat, Pengaruh Bisa Hilang Kapan Saja
Kisah Jokowi ini menjadi pengingat bahwa dalam politik, pengaruh bisa datang dan pergi dengan cepat. Sosok yang dulu dielu-elukan dan jadi pusat kekuasaan, kini mulai ditinggalkan oleh lingkaran elit yang dulu sangat solid. Dalam permainan politik yang dinamis, loyalitas bisa berubah, aliansi bisa pecah, dan kekuatan bisa berpindah tangan tanpa aba-aba.
Bagi pemerintahan Prabowo, ini bisa menjadi kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka bisa berdiri sendiri, tanpa bayang-bayang masa lalu. Dan bagi Jokowi serta keluarganya, ini adalah momen untuk menentukan apakah mereka masih akan bermain dalam kancah politik, atau mulai menepi dan memberi ruang bagi regenerasi kepemimpinan.
_____________