"Amerika Serikat akan mulai mencabut visa mahasiswa China, terutama mereka yang punya koneksi dengan Partai Komunis China atau yang sedang belajar di bidang-bidang vital," tulis Rubio di akun X miliknya, Kamis (29/5/2025), seperti dikutip dari Reuters. Kebijakan ini langsung menuai pro dan kontra, baik dari kalangan politikus maupun akademisi.
Kebijakan Baru yang Memicu Kontroversi
Rubio nggak berhenti di situ. Dalam pernyataan resminya, ia menyebut bahwa Departemen Luar Negeri AS juga bakal merevisi aturan visa yang berlaku, terutama untuk mahasiswa dari China dan Hong Kong. Tujuannya? Untuk meningkatkan pengawasan terhadap semua aplikasi visa ke depan.
Langkah ini disebut sebagai bagian dari strategi nasional AS dalam menjaga keamanan dan kepentingan negara. Namun tentu saja, kebijakan ini bikin tegang hubungan bilateral AS–China yang selama ini memang sudah panas-dingin.
China Belum Buka Suara
Menanggapi pengumuman Menlu Rubio, Kedutaan Besar China di Washington memilih bungkam. Mereka belum memberikan pernyataan resmi dan tampaknya masih menimbang langkah diplomatik selanjutnya.
Sikap diam ini justru memicu spekulasi. Apakah Beijing akan membalas dengan langkah serupa? Apakah ada konsekuensi lebih besar yang akan muncul di sektor pendidikan internasional dan hubungan luar negeri kedua negara?
Putri Xi Jinping Jadi Sasaran
Salah satu efek domino dari pengumuman ini adalah munculnya tekanan terhadap putri Xi Jinping yang diketahui tengah kuliah di Universitas Harvard. Para pendukung Trump di media sosial ramai menuntut agar putri Presiden China itu segera dipulangkan. Bahkan, tagar seperti #XiJinpingDaughterHarvard sempat trending.
Kehadiran putri Xi di Harvard sebenarnya sudah lama jadi bahan pembicaraan diam-diam. Tapi baru kali ini, statusnya sebagai mahasiswa internasional jadi pusat perhatian publik. Belum ada konfirmasi langsung dari pihak kampus maupun dari pemerintah China soal status keimigrasiannya.
Mahasiswa China di AS: Banyak, dan Penting
Buat yang belum tahu, mahasiswa China termasuk yang paling banyak belajar di AS. Pada tahun ajaran 2023/2024, ada sekitar 277.398 mahasiswa China terdaftar di berbagai kampus Amerika, menjadikan mereka populasi mahasiswa internasional terbesar kedua setelah India.
Mereka nggak cuma belajar, tapi juga menyumbang banyak buat ekonomi lokal—terutama di kota-kota universitas seperti Boston, New York, dan San Francisco. Kehadiran mereka juga memperkaya dinamika akademik dan pertukaran budaya di kampus-kampus AS.
Pemberhentian Visa Baru Jadi Awal Langkah Besar?
Sehari sebelum pernyataan Rubio, Departemen Luar Negeri AS disebut sudah menghentikan semua penunjukan baru untuk pelamar visa pelajar dan pengunjung pertukaran. Artinya, belum sempat daftar, sudah mentok duluan. Langkah ini dianggap sebagai sinyal awal bahwa AS akan makin selektif dalam menerima warga negara asing, khususnya dari China.
Banyak pihak menyebut ini adalah bentuk "perang dingin versi modern" yang berlangsung bukan di medan tempur, tapi di ranah pendidikan dan imigrasi.
AS dan China: Kompetisi Semakin Kompleks
Kebijakan ini tentu nggak bisa dilepaskan dari ketegangan yang lebih luas antara AS dan China. Isu ekonomi, teknologi, militer, dan bahkan pengaruh global di kawasan Indo-Pasifik terus menambah daftar panjang konflik kedua negara. Dan sekarang, sektor pendidikan pun ikut jadi "arena pertempuran."
China sendiri dikenal agresif mengirimkan pelajarnya ke luar negeri sebagai bagian dari strategi soft power. Tapi bagi AS, ini jadi tantangan tersendiri—terutama terkait keamanan siber dan potensi kebocoran teknologi.
Kampus-Kampus AS Bisa Kena Imbas
Universitas-universitas ternama di AS mungkin akan jadi korban samping dari kebijakan ini. Dengan jumlah mahasiswa China yang besar, pencabutan visa bisa berdampak besar terhadap pemasukan kampus, riset kolaboratif, hingga atmosfer internasional di lingkungan pendidikan tinggi.
Beberapa kampus bahkan sudah mulai menyuarakan keprihatinan, meskipun belum secara frontal menentang keputusan pemerintah. Mereka khawatir, hubungan internasional yang sudah dibangun selama puluhan tahun bisa hancur hanya dalam hitungan bulan.
Isu Hak Asasi dan Ketimpangan Perlakuan
Sejumlah pengamat juga menyoroti potensi pelanggaran hak asasi mahasiswa internasional jika kebijakan ini tidak dilakukan secara selektif dan transparan. Ada kekhawatiran bahwa generalisasi terhadap semua mahasiswa asal China justru memperkuat sentimen diskriminatif.
Rubio memang menekankan bahwa hanya mereka yang punya "koneksi dengan Partai Komunis China" yang akan terdampak. Tapi dalam praktiknya, sulit membedakan siapa yang punya hubungan langsung dan siapa yang tidak, terutama karena keanggotaan PKC bisa sangat beragam dan tidak selalu eksplisit.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Meski kebijakan ini sudah diumumkan, pelaksanaannya masih akan memakan waktu. Departemen Luar Negeri perlu merevisi peraturan teknis, sistem imigrasi, dan kerjasama dengan kampus. Namun, para pelajar dari China kini pasti merasa waswas.
Situasi ini bisa menjadi awal dari gelombang pembatasan yang lebih besar di masa depan. Termasuk kemungkinan pembekuan visa kerja, visa riset, hingga program pertukaran pelajar.
Dampak Global yang Tak Terhindarkan
Kalau benar-benar diterapkan secara luas, efeknya nggak cuma dirasakan oleh AS dan China. Negara-negara lain yang punya hubungan erat dengan kedua negara juga bisa kena imbas. Dunia akademik internasional, termasuk program kerjasama riset global, akan ikut terpengaruh.
Di saat dunia butuh kolaborasi lintas negara, justru pembatasan seperti ini bisa menciptakan jarak baru di antara para akademisi dan peneliti.
_____________