Pertemuan ini berlangsung pada 22 Oktober 1995, bertepatan dengan kunjungan Presiden Soeharto ke New York, Amerika Serikat, dalam rangka menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Saat itu, Soeharto bukan hanya hadir sebagai Presiden Republik Indonesia, tetapi juga menjabat sebagai Wakil Ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI), posisi yang membuat Indonesia memiliki pengaruh cukup besar dalam isu-isu Timur Tengah.
Presiden Soeharto dan rombongannya menginap di lantai 41 Hotel Waldorf Towers, tempat yang juga menjadi saksi bisu pertemuan tak terduga tersebut. Mengetahui keberadaan Soeharto di hotel yang sama, Yitzhak Rabin pun mengajukan permintaan untuk bertemu secara informal. Permintaan itu datang secara tiba-tiba, bukan atas undangan atau rencana sebelumnya.
Menteri Sekretaris Negara Moerdiono menjelaskan bahwa pertemuan itu memang tidak dijadwalkan, dan sepenuhnya atas inisiatif Rabin. "Memang berlangsung pertemuan antara Presiden dengan PM Israel Yitzhak Rabin. Pertemuan ini adalah atas keinginan PM Israel dan kalau boleh saya katakan itu sedikit mendadak," ungkapnya kepada wartawan di lantai 21 Hotel Waldorf Towers, sebagaimana dicatat dalam Buku XVII: Presiden Soeharto dalam Berita (2008).
Yang menarik, Rabin yang sudah tiba lebih awal pada pukul 17.45 waktu setempat, justru harus menunggu selama 30 menit karena Presiden Soeharto masih menerima tamu lain, yakni Presiden Sri Lanka. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun tamunya adalah pemimpin dari negara yang kontroversial, protokol kenegaraan tetap dijalankan dengan ketat.
Menunggu bukanlah hal yang biasa bagi kepala pemerintahan seperti Rabin, terlebih mengingat ketegangan politik yang selalu menyertai hubungan antara negara-negara Islam dan Israel. Namun Rabin tetap bersedia menanti, sebuah isyarat diplomatik bahwa dia sangat menghargai peran Indonesia dalam kancah politik global, khususnya isu Palestina dan Timur Tengah secara keseluruhan.
Saat Rabin hendak naik lift ke lantai 41, sempat terjadi insiden kecil antara pengawal pribadi Soeharto dengan rombongan pengamanan Rabin. Diketahui, Rabin membawa empat orang pengawal, termasuk Kepala Mossad, yang tentunya memicu kewaspadaan pihak Indonesia. Namun ketegangan itu tidak berlanjut, dan pertemuan akhirnya tetap terlaksana dalam suasana penuh kehati-hatian.
Dalam pertemuan singkat tersebut, isu yang dibahas lebih banyak berkisar pada persoalan kawasan Timur Tengah, meskipun detail percakapan tidak pernah diumumkan secara luas kepada publik. Keinginan Israel untuk membuka komunikasi informal dengan Indonesia yang mayoritas muslim, terutama lewat sosok seberpengaruh Soeharto, menjadi catatan penting dalam sejarah diplomasi tidak resmi antarnegara.
Pertemuan ini bukan hanya simbol dari betapa pentingnya posisi Indonesia di mata dunia internasional, tetapi juga memperlihatkan bagaimana seorang pemimpin seperti Soeharto mampu menjaga sikap kenegarawanan dalam konteks yang sensitif. Meski Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, pendekatan informal semacam ini menunjukkan fleksibilitas dalam menjaga kepentingan nasional dan umat Islam secara global.
Momen ini tetap menjadi bagian dari catatan sejarah diplomasi Indonesia yang jarang terungkap ke publik. Dan tentu saja, tidak banyak yang tahu bahwa pernah ada Perdana Menteri Israel yang harus menunggu setengah jam demi bertemu Presiden RI.
_____________