Menurut pengamat politik, kehadiran Megawati Soekarnoputri yang memilih memimpin upacara peringatan HUT RI di sekolah partai PDIP, Lenteng Agung, memberi sinyal kuat tentang dinamika politik yang sedang berlangsung. Langkah tersebut dianggap menegaskan adanya jarak politik antara Megawati dengan sejumlah tokoh besar, termasuk Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Meski acara di sekolah partai PDIP sudah menjadi rutinitas setiap tahun, pilihan Megawati untuk tetap konsisten melaksanakannya di tempat itu justru menimbulkan interpretasi baru tentang relasi politiknya saat ini.
Adi, analis politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menegaskan bahwa kehadiran Megawati di sekolah politik partai tidak sekadar agenda seremonial. Menurutnya, ini adalah pesan simbolik yang mempertebal persepsi publik tentang adanya jarak psikologis antara Megawati dengan beberapa tokoh nasional. "Sampai sekarang memang terlihat tidak ada titik temu antara Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan juga antara Megawati dengan Jokowi," jelas Adi melalui kanal YouTube, sebagaimana dikutip media di Jakarta.
Meski hubungan Megawati dan SBY kerap dianggap kaku, keduanya masih bisa duduk bersama dalam acara-acara kenegaraan. Dalam berbagai momen formal, meskipun suasana tampak dingin, pertemuan tetap terjadi. Hal ini berbeda dengan hubungannya bersama Jokowi. Adi menilai, absennya Megawati dari upacara di Istana Merdeka bisa dikaitkan langsung dengan keberadaan Jokowi di sana. Perbedaan yang muncul bukan hanya pada level politik, melainkan sudah sampai pada level psikologis yang sulit dijembatani.
Dalam banyak kesempatan, Megawati memang lebih sering memilih jalur partai sebagai arena simbolik ketimbang hadir di panggung negara ketika Jokowi menjadi tuan rumah. Menurut Adi, ini bukan sekadar perbedaan preferensi, melainkan cerminan jarak politik yang semakin nyata. Bahkan, bagi sebagian pengamat, langkah ini bisa dibaca sebagai sinyal bahwa hubungan keduanya tidak lagi bisa dianggap normal seperti halnya relasi politisi senior dengan penerusnya di kursi presiden.
Kehadiran Megawati di sekolah partai PDIP pada 18 Agustus 2025 seakan menjadi penegasan ulang atas jarak tersebut. Di satu sisi, ia menunjukkan konsistensi terhadap tradisi internal partai, di sisi lain, publik menangkap adanya pesan politik tersirat. Sinyal ini semakin kuat karena PDIP dan Jokowi belakangan kerap dipersepsikan berjalan di jalur berbeda, terutama setelah Pemilu 2024 yang memperlihatkan pergeseran arah dukungan politik.
Banyak pihak menilai, hubungan Megawati dan Jokowi mengalami kemunduran dibanding beberapa tahun sebelumnya. Padahal, Jokowi adalah kader yang berhasil menembus puncak kekuasaan negara berkat dukungan besar dari Megawati dan PDIP. Namun, dinamika politik memang sering kali melahirkan jarak, terutama ketika kepentingan partai dan pemerintah tidak lagi berada di garis yang sama. Adi berpendapat, situasi ini semakin kompleks karena komunikasi personal antara keduanya tidak berjalan mulus.
Menurut analisis Adi, publik bisa membaca bahwa Megawati sedang berusaha menjaga jarak tanpa harus menyatakannya secara terbuka. Kehadiran di sekolah partai justru memperlihatkan bagaimana ia ingin menegaskan eksistensi partai di tengah riuhnya panggung politik nasional. Di sisi lain, ketidakhadiran Megawati di Istana Merdeka memberi kesan bahwa hubungan personal dengan Jokowi belum menemukan titik damai. "Saya menduga faktor Jokowi menjadi alasan utama mengapa Ibu Megawati tidak datang," ujarnya.
Jika melihat ke belakang, pola hubungan Megawati dengan SBY memang tidak selalu harmonis, tetapi tetap ada ruang untuk bertemu dalam forum resmi. Perbedaan dengan Jokowi terasa mencolok karena bahkan di momen penting kenegaraan, keduanya seolah memilih jalannya masing-masing. Bagi sebagian kalangan, kondisi ini bisa berdampak pada arah politik PDIP ke depan, apalagi setelah PDIP tak lagi berada di lingkar kekuasaan utama.
Sementara itu, di internal PDIP sendiri, konsistensi Megawati memimpin acara di sekolah partai dipandang sebagai bentuk penguatan ideologis dan loyalitas kader. Meski sederhana, upacara itu menjadi simbol bahwa partai tetap berdiri kokoh di bawah komando Megawati. Namun, simbol yang sama juga sekaligus menciptakan tafsir bahwa jarak dengan Jokowi semakin sulit dipulihkan. Publik pun bertanya-tanya, apakah hubungan ini akan terus membeku atau ada kemungkinan cair di masa mendatang.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik Indonesia masih sarat dengan simbol dan gestur non-verbal. Kehadiran atau absensi dalam sebuah acara bisa dimaknai sebagai pernyataan sikap. Seperti halnya kehadiran Megawati di Lenteng Agung, yang tampak sederhana, tetapi memuat makna politik besar. Dalam konteks inilah analisis Adi menemukan relevansinya, bahwa komunikasi antara Megawati dan Jokowi saat ini seakan berada di titik buntu. Dan selama komunikasi itu tidak diperbaiki, jarak politik akan terus melebar, memengaruhi peta kekuatan politik nasional.
Pada akhirnya, publik tentu akan menilai sendiri arah hubungan Megawati dan Jokowi. Apakah tetap berada pada jalur kaku dan penuh jarak, ataukah ada celah untuk rekonsiliasi di masa depan. Untuk sementara, simbol-simbol yang ditunjukkan Megawati lebih condong pada sikap menjaga jarak. Bagi banyak pihak, ini adalah gambaran nyata dari kompleksitas politik di Indonesia pasca 2024, di mana tokoh-tokoh besar tetap memainkan perannya dengan cara yang kadang sulit ditebak. Dan setiap langkah mereka, sekecil apapun, akan selalu menjadi bahan perbincangan publik serta analisis para pengamat.
_____________