Kematian tragis seorang diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Arya Daru Pangayunan (39), terus menjadi bahan pembicaraan publik. Meskipun pihak kepolisian telah menyatakan bahwa peristiwa ini tidak mengandung unsur pidana, sejumlah pakar hukum justru menyoroti banyaknya kejanggalan dalam kasus ini.
Kematian Arya Daru ditemukan dengan kondisi yang mengundang pertanyaan. Ia ditemukan di kamar indekosnya dengan wajah dilakban, dan menurut laporan forensik, penyebab kematiannya adalah terganggunya pertukaran oksigen di saluran pernapasan atas. Namun, benarkah ini murni kasus bunuh diri? Atau ada hal lain yang lebih gelap di balik tragedi ini?
Rekaman CCTV dan Waktu yang Tak Sinkron
Salah satu yang paling membingungkan adalah keberadaan Arya Daru di dua tempat dalam waktu yang hampir bersamaan. Berdasarkan rekaman CCTV Gedung Kemlu, Arya terlihat naik ke rooftop pada pukul 21.43 WIB dan baru turun sekitar pukul 23.09 WIB. Ia membawa tas gendong dan tas belanja saat naik, namun saat turun kedua tas itu sudah tidak terlihat.
Namun di waktu yang hampir sama, sekitar pukul 22.00 WIB, CCTV di indekos tempat Arya tinggal merekam dirinya masuk ke area kos, bahkan sempat menyapa penjaga kos dan membuang sampah di dapur.
Kepala Polsek Metro Menteng, Kompol Rezha Rahandhi, membenarkan bahwa Arya sempat terlihat santai di kosan. "Dia menyapa penjaga kos, habis itu masuk ke kamar dan tak pernah terlihat lagi," ujarnya.
Pakar Menyebut 'Anomali Spasiotemporal'
Kondisi inilah yang kemudian disebut pakar hukum dan akademisi sebagai "anomali spasiotemporal". Dosen Universitas Trisakti, Aura Akhman, menganggap ini sebagai tabrakan antara dua data berbeda: visual CCTV dan kesaksian penjaga kos.
"Ada yang salah dengan narasi waktu," kata Aura di akun Thread-nya. Menurutnya, dua informasi yang terjadi di waktu sama tetapi di tempat berbeda menunjukkan adanya manipulasi informasi atau kesalahan serius dalam penyelidikan.
Hal senada disampaikan pakar hukum Nicholay Aprilindo. Ia heran karena menurut kesaksian istri Arya, suaminya sempat menelepon sekitar pukul 21.00 WIB dan mengaku sedang menunggu taksi untuk pulang. Namun, secara waktu Arya justru naik ke rooftop saat itu.
"Bagaimana mungkin satu orang berada di dua lokasi berbeda dalam waktu yang bersamaan?" kata Nicholay, mempertanyakan logika di balik temuan polisi.
Temuan Forensik yang Menggugah Kecurigaan
Penjelasan dari pihak forensik juga dianggap belum memuaskan. Dokter forensik RSUPN Cipto Mangunkusumo, Yoga Tohijiwa, menyebut Arya mengalami kematian akibat mati lemas karena gangguan pertukaran oksigen di saluran napas atas. Tapi menurut Nicholay, jika benar seperti itu, berarti ada kejadian atau perlakuan fisik sebelumnya yang menyebabkan kondisi tersebut.
Ditambah lagi, hasil otopsi juga menunjukkan ada memar dan luka-luka pada tubuh Arya, serta tanda kekerasan dari benda tumpul. Bahkan tidak ditemukan indikasi adanya penyakit dalam organ tubuhnya. Maka dari itu, Nicholay yakin ini bukan kasus bunuh diri atau kematian alami.
"Kalau merujuk ke hasil forensik yang ada, ini sudah cukup kuat mengarah ke pembunuhan," tegasnya.
"Diskenario Bunuh Diri" yang Terlalu Rapi
Nicholay juga menduga bahwa kematian Arya adalah hasil dari kejahatan yang dilakukan secara profesional dan penuh perencanaan. Ia menduga kematian ini dirancang agar tampak seperti bunuh diri.
"Modusnya cukup cerdas: wajah korban dilakban sendiri, sehingga sidik jari yang ditemukan hanya milik korban," jelasnya.
Namun, skenario tersebut tetap menyisakan celah. Menurut Nicholay, pelaku menggunakan cara-cara yang menghindari jejak seperti sarung tangan, dan secara sadar tidak meninggalkan sidik jari atau barang bukti yang mencurigakan.
"Ini kelihatan dirancang oleh pelaku yang punya pengalaman, mungkin sudah biasa melakukan hal seperti ini," tambahnya.
Terlalu Dini Menutup Kasus?
Pernyataan polisi bahwa tidak ada unsur pidana dianggap Nicholay terlalu cepat dan tidak memperhatikan berbagai kejanggalan yang ada. Ia menyarankan agar penyelidikan dilakukan ulang, terutama dengan memeriksa ulang rekaman CCTV dan waktu-waktu kejadian yang disebut dalam kesaksian.
Menurutnya, terlalu banyak hal yang tidak cocok: keberadaan di dua lokasi berbeda dalam satu waktu, luka-luka fisik yang tidak dijelaskan, serta benda-benda yang hilang dari tas Arya.
"Semua ini menunjukkan bahwa kasus ini belum selesai. Masih terlalu banyak pertanyaan yang belum dijawab," pungkasnya.
Publik Ingin Keadilan
Tak heran jika kasus kematian Arya Daru ini ramai diperbincangkan di media sosial. Banyak yang menuntut agar kasus ini dibuka kembali dan diusut secara mendalam. Netizen menyayangkan jika kasus sebesar ini ditutup hanya karena tidak ditemukan unsur pidana secara kasat mata.
Dengan latar belakang Arya sebagai diplomat aktif, publik juga mempertanyakan: apakah ada hubungan antara pekerjaannya dan kematiannya? Apakah ada motif yang lebih besar?
_____________